Reportase: Dea Anugrah | 28 Februari, 2017
Apakah Anda membaca karya-karya Gerson Poyk? Menurut Anda,
apa warisan terpentingnya sebagai penulis?
Menurut kritikus sastra Indonesia Zen Hae, Gerson Poyk kerap kelimpungan mengurusi pemilahan suara. “Hampir tidak ada beda antara pengarang, narator, dan tokoh cerita,” ujarnya kepada Tirto. “Pengarang mendesak hingga ke depan sehingga pengetahuan dan nalar tokoh atau narator cerita ialah pengetahuan si pengarang.”
Dalam cerita pendek Gerson “Jaket Kenangan” yang diterbitkan Kompas pada 24 April 2016, ada senandika atau monolog interior berikut: “Bagiku menolong orang bukan didorong oleh semacam rasa superior atas orang lain. Atau untuk dipuji dan dihormati. Bukan. Di dalam jiwaku ada semacam imperatif kategoris, semacam perintah dari dalam diri untuk berbuat baik kepada orang lain.”
“Imperatif kategoris” adalah konsep pokok dalam filsafat moral Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia menempati kedudukan khusus dalam penciptaan, dan karenanya manusia dilengkapi “panggilan yang tak dapat ditolak” untuk menjalankan kewajiban-kewajiban moral.
Di Indonesia, “imperatif kategoris” merupakan istilah yang asing, kecuali bagi para peminat filsafat, dan istilah itu tidak menyumbangkan apa-apa buat karakterisasi dalam “Jaket Kenangan.” Mengapa Gerson menggunakannya? Dalam wawancaranya dengan Agustinus, Gerson mengatakan: “Saya kagum pada Immanuel Kant dalam pembahasan tentang libido kekuasaan dan moral. Tolong kenalkan imperatif kategoris: diperintahkan supaya kamu bermoral. Tuhan yang beri sendiri itu.”
Kasus serupa juga terjadi pada karya-karya lain Gerson. Narator dan tokoh dalam cerpen “Sorghum”, misalnya, lempang saja mengucapkan “reservoir”, “black magic”, “radar”, “Don Juan”, dan “semesta kenangan berdebu”, seakan-akan tak ada pilihan kata lain yang lebih sesuai untuk mereka, seorang petani tua di Nusa Tenggara Timur dan keponakannya yang baru kembali.
Namun, di sisi lain, Gerson terampil menjaga minat pembaca untuk membaca cerita-ceritanya sampai rampung dan membikin kejutan lewat pemelintiran plot. Kemampuan itu tampak pada, misalnya, cerpen “Surat-surat Cinta Aleksander Rajagukguk.” Kecil kemungkinan pembaca menduga tokoh utama cerita itu, yang berutang budi kepada seekor anjing, ternyata malah bergembira saat anjing itu ditembak mati. Alasannya, malam itu ia jadi bisa makan daging bersama kawan-kawannya.
Contoh lainnya ialah “Mutiara di tengah Sawah.” Setelah menyeret pembaca ke sana-kemari dalam arus pikiran narator yang pelik, cerita itu, lewat percakapan yang tidak terkesan diada-adakan, menyingkapkan rahasia bahwa segala keruwetan itu sebenarnya cuma buah kesalahpahaman plus niat baik yang naif.
26 Februari lalu, AS Laksana menuliskan kenangannya atas Gerson Poyk dalam kolom tetapnya di Jawa Pos. Ia mengaku menyenangi “kelincahan bertutur Gerson dan kemampuannya menggarap cerita tentang kemiskinan dalam cara yang gagah dan lucu.”
“Sebagian besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang miskin, sama seperti beberapa pengarang Indonesia. Bedanya, ia selalu bisa melihat sisi jenaka orang-orang melarat itu dan sepertinya tidak berminat menjadikan mereka bahan penguras air mata,” tulis AS Laksana.