Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi | Rabu, 19 Agustus 2015 | 06:35 WIB
- Karya sastra yang hampir terlupakan
Prajurit dalam wayang wong golek lakon Menak Malebari pada pementasan Selasa (18/8) di Pendopo Agung nDalem Mangkubumen Yogyakarta. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gegarane wong akrami,
dudu bandha dudu rupa, among ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang
luwih gampang, yen angel-angel kalangkung, tan kena tinumbas arta. Puteri Cina
gelasaran melas asih, mara Kelaswara, pedhangen juren wak mami, aja andedana
lara.
Kutipan di atas adalah penggalan kalimat dari cerita
Menak yang pernah dikenal dan berkembang secara lisan di kalangan masyarakat
penggemarnya.
Pertunjukan wayang golek sendiri tersebar di berbagai daerah di
Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, maupun Jawa Barat. Wayang golek
didasarkan pada sumber cerita yang dipentaskan.
Prajurit laki-laki
Cerita Menak didalam tradisi tulis terungkap di
dalam Serat Menak, karya sastra Jawa bernafaskan Islam yang berisi kisah
kepahlawanan tokoh cerita Amir Ambyah yang merupakan transformasi dari sastra
Melayu Hikayat Amir Hamzah. Wiracarita lainnya adalah yang bersuasana
Hindu dan epos yang berasal dan tumbuh berkembang dari negeri sendiri. Kisah
kepahlawanan yang disebutkan pertama adalah Serat Menak, Serat Iskandar, dan
Serat Yusuf. Wiracarita Wayang golek purwa yang berpredikat agama Hindu adalah
Ramayana dan Mahabharata, sedangkan epos produk negeri sendiri adalah Serat
Panji.
Prajurit Perempuan
Cerita Menak di Indonesia dikenal melalui saduran-saduran
yang disusun oleh Yasadipura I didasarkan pada karya versi Kartasura tulisan Ki
Carik Narawita yang memiliki kedekatan dengan Hikayat Amir Hamzah. Serat
Menak karya Yasadipura I diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam 24 bagian
berdasar tokoh utama atau tempat yang menjadi sentral setting.
Ciri khas wayang wong golek: tata rias, tata rias, karakter tokoh, dan tata gerak dibuat semirip mungkin dengan wayang golek.
Pertunjukan Wayang Golek Menak mengangkat cerita Menak
dalam bentuk lakon-lakon dan biasanya dipentaskan pada acara
perhelatan semisal khitanan, pernikahan, kelahiran, bersih desa. Durasi dan
lakon pergelaran biasanya antara 6 sampai 8 jam, namun untuk keperluan yang
sifatnya tentatif disesuaikan dengan kebutuhan penanggap semisal untuk
menghormati tamu yang dapat dipadatkan 2 jam bahkan ada yang hanya 15 menit.
Selasa (18/8) bertempat di Pendopo Agung nDalem
Mangkubumen Yayasan Siswa Among Beksa pimpinan KRT Pujaningrat mementaskan
salah satu cerita Serat Menak yakni lakon Menak Malebari yang
mengisahkan perkawinan anak Wong Agung dengan anak Prabu Bawadiman dari
Malebari.
KRT Pujaningrat, pimpinan sanggar Yayasan Siswa Among Beksa Yogyakarta.
"Pementasan kali ini sekitar 1,5 jam. Sebenarnya
bisa lebih, tapi persiapan kemarin hanya dua minggu sehingga ada beberapa
adegan yang dihilangkan namun tetap mempertahankan alur cerita aslinya."
jelas KRT Pujaningrat atau biasa dipanggil Romo Dinu sesaat sebelum pementasan.
Setelah perkawinannya dan juga penobatannya sebagai raja
di negara Kusnyamalebari, tantangan pertama pada pemerintahan Prabu Jayusman
adalah akan direbutnya istrinya yang bernama Dewi Kun Maryati oleh Prabu
Mulyatkustur dari negara Kobarsi. Prabu Jayusman merasa sangat dihina oleh
Mulyatkustur, maka dilaporkannya perihal/permasalahan ini kepada Wong Agung
Jayengrana.
Perang tanding (prajurit).
Mendengar laporan tersebut Wong Agung Jayengrana marah
dan merasa ditantang oleh Mulyatkustur yang dengan semena-menanya merebut istri
orang, maka dengan menahan emosi berbicaralah Wong Agung Jayengrana kepada
Adipati Umarmaya agar bersiap-siap dan waspada dikala para bala tentara Kobarsi
datang menyerbu. Di negara Kobarsi sang Prabu Mulyatkustur semakin tidak mau
tahu bahwa Dewi Kun Maryati telah menjadi permaisuri Prabu Jayusman, maka dengan
emosi yang meledak ledak diutuslah Patih Waringatkustur untuk memimpin
penyerbuan dalam merebut Dewi Kun Maryati ke negara Kusnyamaleberi.
Pertempuran antara negara Kusnyaamalebari dengan Kobarsi
tak terelakkan, semua panglima saling mengadu kesaktiannya, para prajurit
bertempur tumpah ruah di medan laga. Namun akhirnya takdir telah menentukan
bahwa kebathilan akan sirna oleh perbuatan baik. Hancurlah negara Kobarsi dan
takluk di hadapan Wong Agung Jayengrana.
Drs. Suparno (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Yogyakarta) selaku penanggungjawab pagelaran wayang wong gagrag Yogyakarta 2015
menjelaskan bahwa Serat Menak yang terdiri dari 24 cerita menjadi
salah satu upaya yang strategis dalam mengembangkan wayang wong gagrag
Yogyakarta diantara pementasan wayang wong pakem Ramayana maupun Mahabharata.
Perang tanding (panglima)
Dengan menyadur dari cerita Hikayat Amir Hamzah, meskipun
telah mengalami penulisan ulang oleh Yasadipura I namun tetap memerlukan
kreativitas dari para seniman wayang wong agar tercapai harmoni antara
sendratari Golek Menak dengan lakon cerita yang dipentaskan, menjadi
tantangan tersendiri mengingat semakin ditinggalkannya Serat Menak sebagai
salah satu khasanah wayang wong di wilayah Yogyakarta.
Keunikan wayang wong
golek terletak pada tariannya yang kaku dan patah-patah menirukan gaya wayang
golek, serta kostum dan tata rias dibuat semirip mungkin dengan karakter wayang
golek.
Perang tanding Mulyatkustur melawan Wong Agung Jayengrana
Dalam perkembangan terakhir, Wayang Golek Menak dan Serat/Sastra
Menak sebagaimana pertunjukan seni tradisi lainnya seolah mengalami mati
suri. Menurunnya minat masyarakat menjadi awal mata rantai mati surinya
pertunjukan seni tradisi. Kurangnya atau bahkan mungkin ketiadaan penonton
menjadi disinsentif bagi seniman penyaji dalam berkreasi.
Panggung
sebagai ruang ekspresi menjadi pertaruhan berikutnya, sepinya tanggapan ataupun
pertunjukan yang jarang dilakukan menjadi pintu bagi ambang kepunahan.
Ketika
panggung telah digelar, ketika alunan gamelan mengiringi tari mulai terdengar,
apresiasi kehadiran masyarakat di bangku penonton adalah sebuah berkah bagi
pelaku seni untuk menahan laju perjalanan pertunjukan seni tradisi dari
kepunahan.