Menjelang tutup tahun, bertepatan dengan Hari Ibu di akhir tahun 2014 ini [22/12], Dewan Kesenian Daerah [DKD] Kebumen menggelar pentas kolaborasi Ketoprak Dangsak dengan lakon "Reksa Mustika Bumi". Naskah tulisan Pekik Sasinilo dan disutradarai Basuki Hendro Prayitno, dengan asisten sutradara Pitra Suwita dan Putut AS ini mengangkat tema kelestarian alam di tengah ancaman eksploitasi pertambangan. Pentas berlangsung sekitar 1,5 jam, di tengah guyuran hujan Desember basah di luar gedung Setda. Hadir diantara ratusan penonton ada Ibu Djuwarni, wakil bupati Kebumen.
Pentas kolaborasi Ketoprak Dangsak DKD Kebumen. Adegan dimana tokoh Sekar putri Wicaksono diculik dari spektrum kearifan lokalnya [Foto: Dariman]
Lakon "Reksa Mustika Bumi" sendiri membeberkan pertarungan kepentingan rejime kekuasaan yang bernafsu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam dengan berdalih kesejahteraan rakyat sekitar. Pementasan didukung sekitar 42 pemain, terdiri dari pelaku seni tradisi cepetan dari desa Watulawang, teater Gerak IAI-NU Kebumen, grup seni Lengger Jatijajar, Sekolah Rakyat MeluBae dan beberapa pengurus DKD Kebumen sendiri. Grup kesenian lengger ini juga mengampu iringan gamelan dari SMP Tamansiswa sepanjang durasi pementasan yang dikolaborasikan dengan jimbe dan perkussi.
Chaos Kepentingan
Cepet, simbol kewingitan lokal yang pada akhirnya tersingkir setelah dipaksa bertarung dengan kerakusan kepentingan kekuasaan [Foto: Dariman]
Lakon "Reksa Mustika Bumi" yang bercerita tentang keteguhan local-genius dalam melindungi ekologi bumi, dipaksa berhadapan dengan tren modal yang mengincar kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Lakon ini jadi menarik karena konteksnya terhadap situasi kontemporer, dimana kasus kekerasan mewarnai resistensi masyarakat adat versus segala bentuk ancaman, terutama serbuan pertambangan; terhadap penghancuran lingkungannya.
Chaos merupakan manifestasi konflik elit kekuasaan yang terduplikasi pada tataran sosiologis kerakyatan. Simbolisasi tradisi cepet [dangsak] mewakili perwujudan nilai-nilai kearifan lokal yang secara teguh dipelihara Ki Wicaksono bersama para pengikutnya. Batas akhir dari keteguhan pemeliharaan adalah saat kepentingan rejime kekuasaan dengan mengandalkan patron hierarki menekan dan memporak-porandakan segala tatanan lokal. Inilah hakekat antagonisme sosial yang jadi realitas obyektif dimana-mana; saat-saat ini.
Pendukung pentas:
| Sutradara: Basuki Hendro Prayitno | Penulis Naskah: Pekik Sat Siswonirmolo | Astrada/Pemain: Putut AS | Astrada/Pemain: Pitra Suwita | Astrada/Penata Gending: Bambang Budiono | Para Pelaku: Wuryanto, Murdiono Mancung, Harnoto Aji, Ari Susanto, Sahid Elkobar, Agus Budiono, Pipin Damayanti, Darmawan Riyadi, Saeful, Pekik Sat Siswonirmolo, Pitra Suwita, John Silombo, Marikun Bahtiar, Achmad Marzoeki | Crew Photography: Dariman | Camera Arifin Ratih TV | Tata Lampu: Jack, dkk | Grup Cepet Dangsak desa Watulawang | Grup Lengger Jatijajar | [ap]