6 June 2014 - Yovantra Arief
*Makalah ini pernah
disampaikan dalam diskusi “Keruntuhan Kritik Sastra di Era Populer” di UIN
Badung
“Akhir-akhir ini kita dipekakkan oleh perkataan krisis. Krisis ini dan krisis itu.
Juga kesusastraan, ada yang mengatakan krisis, […] saya heran, mengapa di samping krisis, tidak terlihat sesuatu yang tidak krisis, sesuatu yang bangun? Barangkali, apa boleh buat, perkataan krisis sudah menjadi mode, sesuatu yang bukan atau tidak krisis tidak masuk hitungan, didaulat saja, dimasukkan dalam lingkungan perkataan krisis atau dianggap sesuatu yang tidak wajar. Misalnya, kesusastraan yang tak krisis dianggap saja bukan kesusastraan. Semacam propaganda misalnya, seperti penamaan orang terhadap karangan penulis-penulis Lekra.”[1]
Keadaan yang digambarkan oleh A.S. Dharta ini
kurang-lebih sama dengan apa yang terjadi hari ini. Kita masih kerap mendengar
keluh kesah krisis dalam dunia sastra; entah krisis penulis, krisis kualitas,
krisis kritikus, krisis orisinalitas, dst., dst. Omelan soal krisis ini
biasanya ditemani oleh “kesadaran sejarah” yang tak lain adalah romantisisme
belaka. “Dulu bagus, ada Pramoedya, ada H.B. Jassin, ada Jakob Sumarjo, ada
ini, itu; sekarang yang ada Andrea Hirata dan Raditya Dika. Boro-boro ada
kritikus, baca buku aja malas.” Barangkali banyak orang yang berpendapat bahwa
produksi “sastra berbobot” kita sudah semakin jarang, dan dengan demikian
kritikus—yang hanya seluruh kerjanya berkait kelindan dengan produksi sastra,
juga ikut berkurang. Asumsinya, sastra populer—yang produksinya bejibun itu—bukanlah
karya sastra.
Tak pelak lagi, sastra populer telah menjadi momok, biang
keladi atas segala kebobrokan yang terdapat dalam dunia sastra. Ia dituduh
telah mencemarkan nama baik sastra dengan hanya memberi hiburan ringan tanpa
isi, membuat remaja berpikir kalau tidak ada hal lain di luar cinta, merusak
bahasa sastra, dan sebagainya. Meskipun kita ramai bersepakat bahwa kritikus
sudah sekarat, tapi kita bisa dengan mudah menemukan ulasan kritis—atau dalam
kata lain, kritik sastra—yang begitu tajam menggorok leher berbagai judul
sastra populer di berbagai medium. Setan macam apakah sastra populer itu?
Istilah “sastra populer” mulai lazim dipakai pada tahun
70-an lewat suksesnya novel Karmila (Marga T.) dan Cintaku di
Kampus Biru (Ashadi Siregar). Hal ini ditandai dengan semakin
besarnya jumlah pembaca sastra dengan latar belakang sekolah menengah dan
perguruan tinggi. Pembaca sastra populer ini kebanyakan adalah perempuan remaja
dan ibu rumah tangga.[2]
Namun, kesusasteraan populer tidak lahir begitu saja di tahun itu. Menurut
Jakob Sumardjo, kesusasteraan populer yang berkonotasi hiburan dan barang
dagangan sudah sudah muncul sejak tahun 30-an, ketika Balai Pustaka sedang
merajalela (Sumardjo, 1982: 37-39).
Sastra Populer dan
Kritik Sastra dalam Sejarah
Sastra populer selalu hadir dalam oposisinya dengan
“sastra serius”. Oposisi ini, tentu saja, adalah hal yang politis, dan apabila
kita melihat sastra populer dalam oposisinya dengan sastra serius, maka sastra
populer sudah dimulai jauh sebelum tahun 30-an. Pada akhir abad ke-19, industri
percetakan mulai bisa diakses oleh kalangan Tionghoa. Mereka menerbitkan
beberapa surat kabar dan cerita-cerita silat dalam bentuk novel.[3]
Selain cerita silat, terdapat pula saduran cerita-cerita
Barat, seperti Robinson Crusoe, The Count of Monte Cristo, dan Sherlock
Holmes. Yang menarik, cerita-cerita Barat ini kerap diadaptasi sedemikian rupa
sehingga memiliki latar cerita di Jawa.[4]
Pada masa-masa ini, industri percetakan hanya dipegang oleh “orang-orang
partikelir” Tionghoa dan konsumsinya pun hanya terbatas dalam kalangan itu
saja. Orang-orang pribumi baru ikut terjun dalam industri percetakan pada awal
abad ke-20 dengan harian Medan Prijaji sebagai pelopor. Sejak saat
itu dapat ditemukan novel yang dimuat secara bersambung dalam koran-koran
pergerakan.
Pandangan tentang sastra populer yang banal, tidak
mendidik, dan tidak punya selera seni muncul seiring dengan usaha kolonial
untuk meredam geliat penerbitan pribumi dan Tionghoa ini. Pada tahun 1908, DA
Rinkes mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (berubah menjadi Balai Poestaka pada
1917) guna menyaingi “batjaan liar”. Istilah ini merujuk pada semua terbitan di
luar penerbitan resmi kolonial. Pembentukan Balai Poestaka ini sekaligus juga
memunculkan kelas dalam sastra. Pada satu sisi, terdapat “batjaan liar”, sastra
kelas rendah, yang menggunakan bahasa Melayu Pasar, lingua franca yang
hidup sebagai bahasa sehari-hari dalam perdagangan antar pulau di Indonesia,
dan “dikonsumsi pribumi untuk mebodohi dirinya sendiri”. Di sisi lain, terdapat
sastra keluaran Balai Poestaka, sastra serius, yang berbahasa Melayu Tinggi dan
“diperuntukkan bagi pribumi berpendidikan”.
Kritik sastra formal memang baru dikenal pada 1932 lewat
terbitnya majalah Pandji Poestaka, namun Balai Pustaka sebenarnya sudah
menjalankan salah satu fungsi kritik, yakni penilaian suatu karya sebagai baik
atau buruk berdasarkan standar-standar tertentu. Standar ini, disebut Nota
over de Volkslektuur (nantinya lebih dikenal sebagai Nota Rinkes),
adalah standar seleksi kelayakan suatu karya untuk diterbitkan.
Dalam praktiknya, Nota Rinkes memiliki otoritas
yang lebih tinggi ketimbang “sekadar” pedoman kritik—ia punya nilai
politis. Nota Rinkes pada dasarnya adalah sensor, dan dengan demikian
tidak membuka diskusi rasional mengenai sebuah karya sebagaimana kritik pada
umumnya.[5] Di luar itu, terdapat pula
komentar-komentar Tirto Adhi Surjo atas cerita-cerita yang dimuat di Medan
Prijaji (1907-1912) atau Putri Hindia (1908-1911),[6] atau
kritik atas novel Marco Kartodikromo, Mata Gelap, yang dinilai
merendahkan orang Tionghoa dengan digambarkan sebagai lintah darat.[7]
Pada pertengahan tahun 50-an hingga tahun 1965, sastra
populer bisa dibagi dalam dua kategori: sastra propaganda dan sastra hiburan.
Keduanya adalah populer dalam arti keduanya ditulis dengan bahasa semudah
mungkin, tanpa banyak bunga kata, untuk bisa dikonsumsi oleh sebanyak mungkin
pembaca. Sastra hiburan dirajai oleh cerita-cerita silat (tahun 50-an) dan
cerita detektif, serial western, dan novel saduran (tahun 60-an), sementara
sastra propaganda didominasi oleh sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Persaingan tiga kecenderungan sastra ini
cukup sengit. Hal ini bisa dijelaskan, terutama, oleh konfigurasi politik yang
dikenal dengan pertentangan realisme sosialis-humanisme universal yang terkenal
itu.
Dalam dua kubu politik yang bertentangan, yakni realisme
sosialis (RS) dan humanisme universal (HU), tradisi kritik berkembang besat.
Makian umum terhadap HU adalah bahwa ia menujurus pada formalisme, pada
pengutamaan bentuk yang indah, dan tidak memiliki aspirasi sosial-politik riil
dalam melawan represi dst—dalam kata lain, sastrawan HU tidak “militan”.
Makian umum terhadap sastra RS adalah bahwa mereka tidak
punya mutu estetis, menggunakan bahasa yang ‘lunak’ supaya bisa dimengerti
sebanyak mungkin orang—dan dengan demikian tidak sastrawi—, dan sastra menjadi
tunduk pada sesuatu yang lebih ‘profan’, yang ‘kotor’, yakni politik. Dengan
dua pilihan yang memusingkan itu, apakah politik atau estetika, sastra hiburan
menjadi jalan tengah yang mengasyikkan. Sastra hiburan ini didominasi oleh
karya-karya saduran dari judul-judul asing serta roman percintaan yang ditulis
pribumi. Tradisi sastra hiburan silat yang banyak ditulis sastrawan Tionghoa
tampak punya dunia sendiri, hampir terisolasi dari kubu-kubu yang disebut di
atas.
Begitu Orde Baru naik tahta, spesies sastra propaganda
punah, menyisakan konfigurasi budaya rendah-budaya tinggi ala Sekolah
Frankfurt. Tentu terdapat pengarang-pengarang populer yang punya karya-karya
yang bermutu secara estetik. Putu Wijaya, N.H. Dini, Gerson Poyk, atau
Yudhistira adalah sejumlah nama yang menulis sastra populer dan diakui mutunya.[8] Yang menarik adalah, hari ini, nama-nama
tersebut dianggap—dan dengan demikian “naik pangkat” atau “diakui”—sebagai
bagian dari sastra serius.
Kritik sastra berkembang dengan cukup pesat, namun
semuanya terpusat pada pengulasan “sastra serius”. Sastra populer pertama kali
dilirik oleh kritikus dalam Prisma keluaran tahun 1977. Perhatian
yang lebih luas baru muncul pada dekade 80-an.[9]
Namun ini bukan berarti bahwa sastra populer diakui sebagai sebuah karya seni
dan pembahasan atasnya dilakukan dalam pendekatan estetik, kecuali atas
nama-nama sastrawan populer yang “nyerius” di atas. Perhatian yang diberikan
pada sastra—dan lebih umum, budaya—populer ini hampir selalu dalam konteks
sosiologisnya, dan jarang memberi kajian yang mendalam pada unsur-unsur
internal dalam karya spesifik.[10]
Nilai yang dikandung oleh sastra populer, dalam benak kritikus sastra,
hanyalah karena ia dibaca oleh banyak orang.
Karya sastra populer dibicarakan dalam multiplisitasnya,
sebagai kumpulan karya-karya, untuk menemukan ciri-ciri umum yang definitif.
Definisi ini pun selalu dalam relasinya dengan sastra serius dan dengan
demikian kita tidak bisa memahami sastra populer tanpa adanya sastra
serius—bahwa sastra serius lebih esensial ketimbang sastra populer.[11]
Terdapat gairah baru pada akhir 1990-an dan awal 2000-an
terhadap sastra populer dengan munculnya kategori-kategori baru: chicklit,
teenlit, “sastra wangi”, serta sastra pop-islami (istilah ini dipakai
sekenanya untuk menyebut karya-karya yang diproduksi oleh Forum Lingkar Pena
serta beberapa penulis yang memiliki gaya yang mirip). Kecuali terhadap sastra
wangi yang justru “dibesarkan” kritikus[12],
hanya sedikit minat kritikus terhadap penulis-penulis ini. Dari sedikit
kritikus yang ada (dengan asumsi memang terjadi krisis kritikus), kerja kritik
pun kebanyakan terpaku pada “sastra serius”. Setidaknya itu yang tampak dalam
kritik-kritik koran.
Medium kritik pun menjadi hal menarik untuk dilihat.
Sejak awal kemunculannya, sebagian besar kritik sastra dimuat dalam media
massa.
Pada tahun 20-an, dengan munculnya Pandji
Poestaka, kritik sastra mulai dimuat di majalah. Pada tahun 1953 berdiri
majalah Kisah, majalah bulanan yang pertama kali secara khusus memuat
konten sastra. Majalah tersebut mati pada 1957 dan posisinya digantikan oleh
majalah Sastra pada 1961 (dengan jajaran direksi yang sama; Sudjati
S.A., H.B. Jassin, dan M. Balfas).
Majalah Sastra, selain memuat karya, juga
menampilkan esai dan kritik. Selain itu, terdapat pula Zenith, Mimbar
Indonesia, Budaja, atau Siasat. Pada tahun 1966, majalah Horison terbit
dan menjadi salah satu otoritas sastra Indonesia hingga tahun-tahun awal
2000-an. Terdapat pula jurnal Basis dan Prisma yang kerap
memberi tinjauan terhadap karya sastra secara lebih akademis.
Memasuki milenium baru, majalah-majalah pelan-pelan redup
dan akhirnya mati. Horison masih tersengal-sengal, namun semakin
kehilangan wibawa.
Medium penyebaran kritik sastra pindah ke
koran—harian Kompas yang memiliki “gengsi” paling tinggi di kalangan
kritikus. Tentu muncul pula majalah-majalah khusus sastra yang mencoba
menghidupkan kembali kejayaan di tahun 70 – 90-an seperti Jurnal
Cerpen atau Jurnal Kritik, namun keduanya tidak memiliki
persebaran yang luas dan tidak laku di pasaran.
Di luar medium konvensional cetak, internet menghadirkan
cara distribusi baru. Pada tahun 90-an muncul laman Cybersastra yang cukup
aktif menerbitkan karya maupun kritik. sayangnya laman ini sudah tidak aktif
lagi. Posisi laman ini dilanjutkan oleh laman Mediasastra yang, sayangnya,
tidak terlalu aktif dalam menerbitkan kritik. Banyak pula penulis pemula yang
menulis ulasan, apresiasi, maupun kritik dalam blog pribadi.
Belakangan muncul pula grup-grup di sosial media yang
khususkan dalam mendiskusikan sastra koran (di Facebook misalnya, ada grup
sastra koran minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi, dan esai yang dimuat dalam
koran minggu). Medium internet sebenarnya menawarkan kemajuan dalam kritik
sastra; ia lebih mudah diakses, tidak terbatas dalam panjang tulisan,
memungkinkan lebih banyak kritikus yang muncul, serta memungkinkan diskusi yang
lebih intens. Namun, pada nyatanya, tulisan di internet belum punya otoritas
sebagaimana cetak.
Banyak kritik sastra dalam laman blog pribadi memiliki
masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari susunan kalimat yang
berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang tidak runtut,
kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan sama sekali.
Kendala umum dalam laman yang dikelola secara kolektif (seperti Mediasastra dan
IndoPROGRESS) adalah dalam hal basis produksi. Sebagian besar penggiatnya
adalah relawan yang harus membagi antara kerja “profesional” dengan kerja “pro
bono”. Akibatnya, media-media ini keteteran dalam hal menjaga ritme serta
kualitas terbitan.
Dengan medium yang lebih luwes ini pun, tidak ada
perkembangan yang berarti dalam kritik terhadap sastra populer. Tulisan-tulisan
yang bisa kita temui mengenai sastra populer biasanya terbagi dalam dua kubu:
mengecamnya sebagai budaya rendahan yang tidak berisi atau membelanya
mati-matian dengan bertumpu pada argumen selera. Tentu ada beberapa
kritikus yang mampu melihat sastra populer secara—katakanlah—lebih objektif.
Katrin Bandel, misalnya, membuktikan bahwa Saman, alih-alih merupakan
bagian dari perjuangan feminisme, malah jatuh dalam jebakan falosentrisme.[13]
Ia juga pernah mengulas novel Clara Ng, Dimsum Terakhir dan Negeri
Perempuan karangan Wisran Hadi dalam hubungannya dengan identitas etnis
dalam masyarakat metropolitan.[14]
Kelas dan Kritik
Sastra
Kritik yang biasa dilayangkan pada sastra—atau lebih
umumnya, budaya—massa hari ini bisa kita lacak hingga kritik Adorno atas
semangat Pencerahan.[15]
a.) industri budaya melayani kebutuhan pasar, sehingga
nilai estetik dikalahkan oleh hasrat mencari untung,
b.) industri budaya adalah komodifikasi suara hati
manusia; ia menghabisi pikiran otonom dan kritis, sehingga manusia jadi tunduk
pada tatanan yang sudah mapan,
c.) industri budaya membuat standardisasi budaya dalam
norma-norma tertentu sehingga tercipta “keragaman semu” dalam kebudayaan; yang
banyak adalah pilihan, namun pilihan-pilihan tersebut pada dasarnya adalah
sama, dan dengan demikian, mentalitas manusia juga ikut diseragamkan, dan
d.) manusia, dalam kapitalisme, direduksi menjadi
nilai-tukar, ia bernilai sejauh laba bisa ditarik darinya, sehingga segala
macam cita-cita Pencerahan bahwa manusia adalah unik menjadi kandas.
Kritik-kritik tersebut bertumpu pada determinasi
struktur, yakni asumsi bahwa sistem menentukan segala, bahwa manusia tidak bisa
keluar sama sekali dari sistem. Di balik asumsi ini, bersembunyi gagasan bahwa
sistem demikian utuh, sempurna, mampu mengatur segala aspek kehidupan
manusia dan manusia tak punya pilihan selain menurutinya. Apabila kita
mengamini asumsi ini, maka segala harapan akan adanya perubahan akan kandas.
Apabila struktur sudah sempurna, maka tesis Francis Fukuyama tentang demokrasi
liberal benar, bahwa demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah. Apabila
struktur sudah sempurna, maka untuk apa ada perubahan di dalamnya—dengan kata
lain, mustahil ada perubahan sama sekali.
Kesimpulan semacam ini tidak bisa diterima—dan memang
tidak diterima—dalam kesusastraan Indonesia. Masih ada kesusastraan yang tidak
menghamba pada logika industri; masih ada kesusastraan yang “idealis”, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai estetik, yang tetap menjunjung tinggi kemanusiaan
dan resisten terhadap status quo. Kita menyebutnya sebagai “sastra serius”.
Namun demikian, jawaban bagi problem yang dimunculkan
oleh sastra populer ini justru menciptakan hierarki dalam sastra. Aspirasi
Marxian untuk menghapuskan perbedaan kelas-kelas sosial justru ditampik dengan
penciptakan kelas-kelas dalam sastra. Kelas-kelas dalam sastra tentu punya
basis objektif dalam karya itu sendiri, yakni dalam hal struktur karya, diksi,
kelihaian dalam menjaga ritme, tema serta pesan yang ingin disampaikan oleh
karya itu sendiri. Karena sastra adalah produk sosial, maka pada
hakikatnya kelas-kelas dalam sastra adalah cerminan dari kelas-kelas yang
terdapat dalam masyarakat.
Bourdieu dalam Distiction: A Social Critique of the
Judgement of Taste (1979) mengajukan bahwa modal (capital) tidak hanya
berbentuk penguasaan atas benda-benda material atau alat kerja untuk
diakumulasikan. Modal juga mencakup ranah-ranah sosial yang tidak punya nilai
tukar secara langsung seperti pendidikan, hubungan sosial, atau keahlian
tertentu. Modal, oleh Bourdieu, bisa dirangkum dalam tiga kategori besar,
yakni modal ekonomi, modal sosial, dan modal kultural. Akumulasi
modal dalam satu ranah bisa membuka akses pada modal pada ranah lainnya.
Apabila seseorang punya cukup modal ekonomi, ia bisa
punya akses pada pendidikan, pada pengakuan orang lain, pada karya seni yang
lebih tinggi, dst. Seseorang pun bisa mengakumulasi modal kultural (dengan kuliah
sastra, menulis karya sastra, dst) untuk bisa mengakumulasi modal kulturalnya
dan dipertukarkan dengan modal ekonomi (dengan menjadi dosen sastra,
menulis chicklit, dst).
Distingsi sastra populer-sastra serius pun mengandaikan
adanya akumulasi modal kultural. Dalam memahami suatu karya, dibutuhkan akses
terhadap pengetahuan. Paling sederhana, untuk memahami puisi-puisi Afrizal
Malna, kita mesti bisa bahasa Indonesia, memahami tata bahasa Indonesia, dan
sedikit mengenal bahasa Inggris—minimal punya kamusnya. Untuk memahami
kebaruannya, kita mesti tahu sejarah persajakan Indonesia.
Untuk bisa memahami maknanya, kita mesti memahami konsep
subjek, terutama subjek modern yang ia kritik—akan lebih baik lagi kalau kita
pernah main genit-genitan dengan pascamodernisme. Segala macam “amunisi” ini
tidak kita butuhkan kalau kita membaca—misalnya saja—Cintapuccino. Problemnya,
tidak semua orang punya akses terhadap pengetahuan di atas. Dengan demikian,
mencibir karya dan pembaca sastra populer adalah satu bentuk penindasan
terhadap kelas-kelas yang aksesnya terhadap pengetahuan tidak dimungkinkan.
Tentu ada kebenaran dalam kritik-kritik yang dilayangkan
terhadap sastra populer—namun itu hanya terbatas pada segi isi atau pesan yang
ia utarakan. Bahwa banyak sastra populer yang hanya bicara soal cinta, dangkal,
dan tidak punya kesadaran sosial-politik lebih daripada jargon-jargon moral,
itu benar. Namun, ada kebenaran juga yang bisa diambil dari
kekurangan-kekurangan sastra populer ini: bahwa sastra populer bicara tentang
hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat kita,
dan dengan demikian lebih mudah diterima dan punya pengaruh dalam praksis
masyarakat.
Terdapat dua hal yang khas dalam tradisi kritik
Marxian. Pertama, kritik harus dilancarkan secara internal, yakni
dalam kategori-kategori yang ia kritik itu sendiri. Marx mengkritik kapitalisme
mula-mula bukan dengan cara membuat teori-teori, dikotomi-dikotomi baru,
melainkan dengan mendasarkan diri pada kategori-kategori pengetahuan tentang kapitalisme
itu sendiri, menemukan kontradiksinya, lalu mencari kemungkinan-kemunngkinan
perubahan dalam struktur itu sendiri. Kedua, kritik harus
diradikalkan dalam bentuk praksis mengubah keadaan yang ia kritik.
Dengan demikian, tugas utama kritik—terutama kritik
Marxian—bukanlah terlibat dalam menyuburkan sastra serius. Pena kritik mesti
diarahkan pada sastra populer. Bukan sebagai musuh kritikus. Dan kritikus bukan
sebagai begawan adiluhung yang mengajarkan seperti apa sastra seharusnya.
Kritikus justru dituntut untuk berbaur dengan sastrawan
populer, menteorikan pengetahuan mereka tentang praksis, membantu mereka dalam
mengidentifikasikan problem-problem sosial untuk kemudian diartikulasikan dalam
bentuk sastra, serta menunjukkan arah-arah kemungkinan perkembangan estetika
penulis sastra populer.
Dalam kata lain, menjadi kritikus Marxian adalah menjadi
aktivis. Kerja kritik adalah kerja pengorganisasian pengetahuan dan
pengorganisasian sosial. Seorang kritikus adalah mereka yang berhadapan dengan
pekerja sastra dengan satu seruan: penulis chicklit se-Indonesia,
bersatulah!
Daftar
Pustaka
Ananta
Tur, Pramudya. 1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Bandel,
Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Jogjakarta:
Pustaha Hariara.
Budiman,
Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.
Dharta,
A.S., dan Budi Setiyono (penyunting). 2010. Kepada Seniman Universal,
Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta. Ultimus: Bandung.
Foulcher,
Keith, dan Tony Day (penyunting). 2002. Clearing A Space: Postcolonial
Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Sastrowardoyo,
Subagyo (penyunting), 2013. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia
yang Relevan. Bandung: CV Angkasa
Sumardjo,
Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
Sumardjo,
Jakob. “Sastera Populer dan Pengajaran Sastera”, dalam Basis no. 5,
Th. XXXI, Mei 1982.
Farid,
Hilmar dan Razif. “Batjaan Liar in the Dutch East Indies: A Colonial
Antipode”, dalam Postcolonial Studies, Vol. 11, No. 3, 2008
Adorno,
Theodore, dan Max Horkheimer. “Culture Industry: Enlightenment as Mass
Deception”, dalam Dialectic of Enlightenment, 1944,
Arief,
Yovantra. “Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik jadi Panglima,
1902-1965”, di laman https://indoprogress.com/2013/06/ideologi-dan-kritik-sastra-ketika-politik-jadi-panglima-1920-1965/#_edn10
[1] A.S. Dharta, “Ukuran Bagi Kritik Sastra Dewasa Ini”, pidato pada
simposium Fakultas Sastra, Jakarta, Januari 1956. Dimuat dalam Budi Setiyono
(editor), Kepada Seniman Universal, Kumpulan Esai Sastra A.S.
Dharta, 2010, Ultimus: Bandung.
[2] Sumardjo, Jacob, “Sastera Populer dan Pengajaran Sastera”, dalam Basis no.
5, Th. XXXI, Mei 1982.
[3] Hilmar Farid dan Razif, “Batjaan Liar in the Dutch East Indies: A
Colonial Antipode”, dalam Postcolonial Studies, Vol. 11, No. 3, 2008
[4] Doris Jedamski, “Popular Literature and Postcolonial Subjectivities:
Robinson Crusoe, The Count of Monte Cristo and Sherlock Holmes in Colonial
Indonesia”, dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Modern
Indonesian Literature, Keith Foulcher dan Tony Day (eds), Leiden: KITLV
Press, 2002, hal. 20-24.
[5] Lihat Yovantra Arief, “Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik jadi
Panglima, 1902-1965”, di laman https://indoprogress.com/2013/06/ideologi-dan-kritik-sastra-ketika-politik-jadi-panglima-1920-1965/#_edn10
[6] Lihat artikel yang ditulis oleh Tirto Adhi Suryo berjudul “Kekejaman
di Banten” yang mengulas novel Max Havelaar dalam Pramudya Ananta
Tur, Sang Pemula, 1985, Jakarta:Hasta Mitra, hal. 223, atau ulasan
singkat mengenai buku Babu Delima dalam artikel “Oleh-oleh dari
Tempat Pembuangan”, dalam Sang Pemula, hal. 245.
[7] Termuat dalam surat kabar Tjhun Tjhiu 84, 1914, hal. 23,
sebagaimana dikutip dalam Hilmar Farid, “Batjaan Liar in the Dutch East
Indies: A Colonial Antipode”, Postcolonial Studies, Vol. 11, No. 3, 2008,
Routledge, hal. 286.
[8] Lihat catatan kaki 4 dalam Farouk, “Novel Indonesia Mutakhir: Menuju
Teori yang Relevan”, dalam Subagyo Sastrowardoyo (penyunting), Menjelang
Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, 2013, Bandung : CV
Angkasa, hal. 157
[9] Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, 2002, Jakarta: Kanisius
[10] Bandingkan dua edisi jurnal Prisma yang telah disebut di
atas, dan Novel Populer Indonesia (Jakob Sumardjo, 1982, Yogyakarta:
Nur Cahaya),
[11] Lihat misalnya Jakob Sumardjo, Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah
Kritik, 1979, Yogyakarta: Nur Cahaya. Dalam buku tersebut, Sumardjo
memberi perbandingan tentang sastra populer dengan sastra serius dalam hal
plot, tema, isi, dan unsur inovasi. Kita digiring pada sebuah opini bahwa
sastra populer hanya melayani nafsu menghibur diri semata tanpa isi yang lebih
“bergizi” bagi kehidupan manusia; ia hanya membicarakan soal cinta, tidak
memiliki ambisi untuk membaharui atau memperkaya khazanah sastra, penokohannya
cenderung stereotipikal, penggarapan isunya cenderung cetek, dst. Analisa ini
mendasarkan diri bahwa sastra yang baik harus berbobot, harus membicarakan
hal-hal yang esensial dalam hidup manusia, harus punya penokohan yang di luar
stereotipe, harus punya kebaruan, dst; ciri-ciri yang dilekatkan pada “sastra
serius”.
[12] Novel Saman, ketika pertama terbit, mendapat publikasi yang
luar biasa di media massa. Kritikus-kritikus ramai memuji novel tersebut. Kompas bahkan
mempromosikan Saman tanpa catatan kritis sama sekali. Tentu masih ada
yang bersikap kritis terhadap novel tersebut (Katrin Bandel dan Pramoedya
Ananta Tur, misalnya), namun suara mereka minor. Segala macam pujian ini
membuat kritik menjadi sekadar advertising, hanya bunga kata untuk
mendongkrak penjualan Saman. Lihat Lubang Hitam, hal. 157
[13] Katrin Bandel, “Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami”, dalam Sastra
Nasionalisme Pascakolonialitas, 2013, Jogjakarta: Pustaha Hariara, hal.
167-185
[14] Katrin Bandel, “Etnisitas dan Kota”, dalam Op.cit, hal. 63-79
[15]
Lihat Theodore Adorno dan Max Horkheimer, “Culture Industry: Enlightenment as
Mass Deception”, dalam Dialectic of Enlightenment, 1944, http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm