Selasa, 04 Maret 2014
Belakangan ini, para budayawan sepuh
Indonesia sedang ramai dimintai pertanggungjawaban sejarah oleh generasi muda
mengenai “peran” mereka dalam tragedi 1965. “Peran” yang dimaksud di sini
secara khusus merujuk pada keterlibatan mereka dalam proyek-proyek kebudayaan
antikomunis yang disokong oleh Congress for Cultural Freedom (CCF), sebuah
operasi terselubung (covert action) Central Intelligence
Agency (CIA) Amerika Serikat. CCF adalah tangan penggerak operasi global AS di
bidang kebudayaan untuk meluaskan dominasi ekonomi-politik liberal mereka.
Bahwa CCF adalah operasi CIA
bukanlah isapan jempol belaka. Fakta ini sudah dibongkar jauh-jauh hari sejak
April 1966; pertama oleh reportase Tom Wicker di New York Times,
dan kedua oleh reportase majalah Ramparts melalui
redakturnya, Warren Hinckle. Barangsiapa menyangsikan “kualitas”
reportase-reportase tersebut, perlu dicatat bahwa Ramparts dianugerahi George Polk Memorial Award for Excellence in Journalism atas
kerja investigatifnya itu. Berpuluh tahun kemudian, dengan meneliti arsip-arsip
yang telah dideklasifikasi, Frances Stonor Saunders merinci keterkaitan CIA-CCF
dalam buku Who Paid the Piper? CIA and the Cultural Cold War (1999).
Mengutip kalimat pembukaan Saunders
dalam bukunya: “Selama puncak Perang Dingin, pemerintah AS menyediakan sumber
daya yang sangat besar untuk program rahasia propaganda kebudayaan [...]
Program ini dikelola dengan sangat rahasia oleh tangan spionase Amerika, CIA.
Di pusat aksi ini terdapat Congress for Cultural Freedom yang dijalankan oleh
agen CIA Michael Josselson [...] Semasa puncaknya, Congress for Cultural
Freedom punya kantor di 35 negara, mempekerjakan lusinan personil, menerbitkan
lebih dari 20 majalah bergengsi, menggelar pameran-pameran seni rupa, memiliki
layanan kantor berita, menyelenggarakan konferensi-konferensi internasional
papan atas, dan menganugerahi para musisi dan seniman dengan
penghargaan-penghargaan dan pertunjukan publik.” Tujuannya: “Menjauhkan kaum
intelegensia dari Marxisme menuju pandangan yang lebih akomodatif terhadap
‘cara Amerika’.”[1]
Fakta-fakta inilah, yang meskipun
sudah diketahui umum, rupanya tetap tak hendak diakui oleh para penulis dan
intelektual Indonesia yang terlibat. Operator CCF untuk Asia, Ivan Kats, yang
menjalin hubungan dekat dengan para intelektual Indonesia untuk menggarap kerja
CCF di sini, dibela oleh Goenawan Mohamad dengan dibilang “tak tahu” soal
hubungan CCF dengan CIA dan “terkejut” saat membaca laporan New York
Times karena “tak menyangka”.[2] Almarhum Mochtar Lubis menyangkal keras kaitan
itu, sementara Taufiq Ismail mengaku “tertegun” setelah mengetahuinya.[3]
Para pembela mereka juga kerap
mengungkapkan dalih yang kira-kira berbunyi demikian, "CIA kan bukan intel
Melayu. Kerjanya sangat rapi. Operasinya sajacovert action. Maka sangat
wajar dan bisa dimaklumi kalau orang-orang CCF maupun para penulis yang bekerjasama
dengan mereka tidak tahu menahu bahwa mereka bekerjasama dengan CIA."
Argumen itu mungkin betul. Tapi yang
jadi masalah di sini: adakah tindakan etis yang dilakukan oleh para
penulis dan budayawan itu setelah fakta keterkaitan CCF-CIA dibongkar
oleh reportase New York Times dan Rampartspada
1966? Kita bisa menengok ke Amerika Latin untuk mencari pembandingnya.
Jelas, di mata AS saat itu, Amerika
Latin sebagaimana Asia Tenggara adalah wilayah prioritas yang harus disterilkan
dari pengaruh komunis. AS punya banyak alasan untuk merasa waswas. Tahun Baru
1959 dibuka dengan kaburnya diktator boneka AS dari Kuba, Fulgencio Batista,
akibat ditumbangkan oleh pasukan gerilya Fidel Castro. Revolusi Kuba dan
kemenangan Castro punya dampak luar biasa pada kesadaran geo-politik subbenua
itu. Negara-negara Amerika Selatan mulai melihat dirinya sebagai satu kesatuan
politik yang mengalami rute historis serupa dan tumbuhlah rasa sebagai “satu
Amerika Latin.” Dari pengalaman gerilya itu pula Che Guevara menuliskan
teorinya yang terkenal, teori foco, yaitu bahwa garda depan pasukan
bersenjata bisa menyulut gerakan-gerakan revolusioner sejenis di sepenjuru
Amerika Latin.
Untuk menangkal pengaruh Revolusi
Kuba (dan dengan demikian ide-ide Marxis) di bidang pemikiran dan kebudayaan,
sekretariat CCF di Paris merasa perlu menerbitkan sebuah majalah baru untuk
menggantikan majalah CCF di Amerika Latin sebelumnya, Cuadernos del
Congreso por la Libertad de la Cultura (disingkat Cuadernos). Cuadernos terbit
triwulanan sejak Maret 1953 dan sukses membangun jaringan di beberapa negara
dari Cile hingga Uruguay.[4] Namun pasca Revolusi Kuba
1959, Cuadernos dirasa sudah terlampau kuno. Kalangan
pembacanya terpusat pada generasi yang menggelorakan semangat Republikan dalam
Perang Saudara Spanyol, dan tidak mampu masuk ke segmen pembaca lebih muda yang
menjadikan Revolusi Kuba sebagai kiblatnya. Pada 1963 Cuadernos disudahi,
dan dari kantor CCF yang sama di Paris digodok sebuah majalah baru
bernama Mundo Nuevo (Dunia Baru).
Di bawah keredaksian Emir RodrÃguez
Monegal, kritikus sastra asal Uruguay yang bisa kita sebut sebagai “Ivan
Katsnya Amerika Latin”, Mundo Nuevodibuat menjadi lebih “sastrawi”
dibanding Cuadernos. Dengan semboyan “una revista de
diálogo” (atau “majalah dialog”), ia juga menyatakan diri “apolitis”
atau tidak memihak satu pandangan politik tertentu. Klaim ketidakberpihakan ini
terasa janggal menurut kritikus Jean Franco, karena jelas-jelas “Mundo
Nuevo dimaksudkan untuk menandingi pengaruh Revolusi Kuba pada
imajinasi para penulis muda serta pengaruh jurnal kebudayaan Kuba Casa
de las Américas [yang] merayakan perjuangan pembebasan
negara-negara Dunia Ketiga, gerakan Black Power di AS, perjuangan gerilya,
dan tradisi anti-imperialisme Amerika Latin.” [5]
Di sini kita bisa melihat jelas
perbedaan ideologis Mundo Nuevo di bawah RodrÃguez Monegal
dengan Casa de las Américas di bawah kepemimpinanHaydée
SantamarÃa. Apabila Casa de las Américas berusaha
membentuk “geografi kultural baru” dengan menempatkan Amerika Latin dalam
konteks perjuangan pembebasan nasional negara-negara Dunia Ketiga, Mundo
Nuevoberusaha menempatkan Amerika Latin ke dalam “akar universal”-nya di
Eropa.Mirip sekali dengan proyek “humanisme universal” di Indonesia dengan
klaim universalisme dan ketidakberpihakannya. Apabila Haydée SantamarÃa
mengkritik para penulis Amerika Latin yang tinggal di Eropa, RodrÃguez Monegal
justru mengklaim bahwa para penulis besar Amerika Latin adalah yang tinggal di
luar negeri. Perbedaan cara pandang ini juga kentara jelas saat dua jurnal
yang mereka kelola membahas topik yang sama, misalnya peringatan 100 tahun
kelahiran penyair Nikaragua Ruben DarÃo. Apabila Mundo Nuevomenempatkan
pencapaian DarÃo dalam jajaran modernisme tinggi, setara dengan para penyair
Eropa seperti Stéphane Mallarmé atau Rainer Maria Rilke,Casa de las
Américas melihat DarÃo sebagai prototipe gerilyawan Kuba yang siap
menghadapi imperialisme AS.[6]
Atas prinsip itu jugalah
(“menempatkan kebudayaan Amerika Latin dalam konteks yang internasional
sekaligus aktual,” sebagaimana disebutkan dalam editorial edisi
perdananya), Mundo Nuevo memilih berkantor pusat di Paris.
Tentunya ada juga kebutuhan praktis terkait pembiayaan dari CCF yang bermarkas
di kota yang sama[7] serta koordinasi dengan jurnal-jurnal lain
terbitan CCF. Mundo Nuevo dicetak 5.000-6.000 eks dan
diedarkan di seluruh negara Amerika Latin serta sedikit di AS dan Eropa. Tak
pelak lagi ia adalah bagian dari apa yang oleh Sekretaris Eksekutif CCF
sekaligus agen CIA Michael Josselson disebut sebagai “grande famille (keluarga
besar) majalah-majalah antikomunis.” Artikel-artikel Mundo Nuevo diterjemahkan
dan dimuat di pelbagai jurnal terbitan CCF lainnya, sebagaimana Mundo
Nuevo juga berhak menerbitkan terjemahan artikel-artikel dari
“keluarga besar majalah antikomunis” lainnya yang dibiayai CCF.[8]
Dengan misinya yang kosmopolit dan
kontemporer, serta peluang untuk diterjemahkan ke bahasa-bahasa selain Spanyol,
RodrÃguez Monegal berhasil menarik banyak penulis Amerika Latin dari pelbagai
kecondongan politik untuk bekerja sama atau mengirimkan karyanya ke Mundo
Nuevo. Tersebutlah nama-nama yang sedang naik daun seperti Carlos Fuentes,
José Donoso, Augusto Roa Bastos, Guillermo Cabrera Infante, Octavio Paz,
Gustavo Sainz, Gabriel GarcÃa Márquez, Mario Vargas Llosa, dan Julio
Cortázar—nama-nama yang nantinya menjadi nama-nama besar dan mendunia dalam apa
yang disebut sebagai“boom” sastra Amerika Latin. Maka dalam satu
hal, Mundo Nuevo punya peran “mempromosikan” terlebih dahulu
para penulis ini kepada pembaca Eropa sebelum “boom” sastra
sungguh-sungguh terjadi.[9] Petikan karya-karya yang kini menjadi “kanon”
sastra Amerika Latin era boom terlebih dulu terbit diMundo
Nuevo sebelum terbit utuh sebagai novel (misalnya potongan Cien
años de soledad karya GarcÃa Márquez, Cambio de piel karya
Carlos Fuentes, danTres tristes tigres karya Guillermo Cabrera
Infante). RodrÃguez Monegal bahkan mengajak GarcÃa Márquez menjadi kontributor
tetap Mundo Nuevodengan tawaran upah AS$400 sebulan.
|
Mundo Nuevo (kiri) edisi No. 2, Agustus 1966, dan Casa de las Américas (kanan) edisi Th VI No. 39,
November-Desember 1966. Pada nomor Mundo Nuevo yang ini, petikan mahakarya Cien años de soledad GarcÃa
Márquez pertama kali dipublikasikan.
|
Sebelum GarcÃa Márquez sempat
memberi jawaban atas tawaran itu, kehebohan keburu pecah akibat terbitnya
reportase The New York Times dan Ramparts.
Artikel-artikel di kedua media itu diterjemahkan ke bahasa Spanyol dan dicetak
ulang di koran Uruguay Marcha serta Casa de las
Américas, musuh bebuyutanMundo Nuevo. Sebagian di antara
para penulis di atas mengambil sikap melancarkan kecaman terbuka atas
akal-akalan Mundo Nuevo. Perlu dicatat di sini bahwa Mario Vargas
Llosa dan Julio Cortázar sejak awal bersikap skeptis terhadap proyek ini dan
paling enggan berkontribusi. Sedangkan Cabrera Infrante tak merasa bermasalah
dengan afiliasi CIA karena ia sendiri bentrok dengan rezim Castro dan
memutuskan eksil dari Kuba. Sementara bagi para penulis yang secara jelas menyatakan
haluan politik kirinya, seperti GarcÃa Márquez yang berteman karib dengan Fidel
Castro, dikuaknya fakta ini benar-benar membuatnya merasa “dikadali” (“cornudos”).
Ia dan Roa Bastos menyesali kontribusinya dan menyatakan takkan pernah
berhubungan lagi dengan Mundo Nuevo, sebagaimana terbaca dari
suratnya kepada RodrÃguez Monegal:
“Percayalah bahwa saya tidak punya
syak wasangka terhadap mata-mata di dunia nyata. Saat Anda mengajak saya
bekerja di Mundo Nuevo, banyak kawan yang selera humor politiknya
lebih rendah dari saya mengingatkan tentang kecurigaan umum bahwa CCF menjalin
hubungan luar nikah dengan CIA Amerika Serikat [...] Singkat kata, saya yakin
cerita soal mata-mata ini tak terlukiskan selama kita semua dengan jujur tahu
permainan apa yang tengah kita mainkan. Tapi sekarang sepertinya CCF sendiri
tidak tahu permainan mereka, dan dengan keterlaluan ini sudah melewati
batas-batas humor dan memasuki ranah sastra fantasi yang tak terduga dan
menggelincirkan. Atas situasi ini, Tuan Direktur, tentu tidak mengejutkan
apabila Anda yang paling pertama paham bahwa saya tidak akan bekerjasama lagi
dengan Mundo Nuevo, yang telah menutup-nutupi kaitannya dengan
organisasi yang telah membawa saya dan banyak kawan lain ke dalam situasi
dikadali ini.”[10]
RodrÃguez Monegal sendiri membantah
kaitan dengan CIA tersebut dan tetap bersikeras menyatakan Mundo
Nuevo independen. Dalam penjelasannya kepada pembaca di edisi Mei
1967, ia tekankan bahwa Mundo Nuevo “bukanlah organ
pemerintahan atau partai manapun, kelompok atau sekte apapun, kecondongan
religius atau politik apapun, melainkan sebuah jurnal yang disunting semata-mata
seturut keputusan redakturnya yang merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggungjawab dalam memilih materi yang diterbitkan.”[11]
Mungkinkah RodrÃguez Monegal
sebenarnya juga tidak tahu kaitan CCF-CIA sebagaimana Ivan Kats dibilang tidak
tahu? Beberapa bukti menyatakan sebaliknya, terutama surat-surat RodrÃguez
Monegal sendiri ke para petinggi CCF termasuk Michael Josselson, Pierre
Emmanuel, dan Shepard Stone pasca pecahnya skandal. Dalam surat-suratnya ke
Josselson dan Stone, RodrÃguez Monegal mendesak agar skema pembiayaan Mundo
Nuevo diambil alih oleh Ford Foundation dan agar Ford Foundation
menyebarluaskan pernyataan pers bahwa Mundo Nuevo memang telah
didanainya sejak awal.[12] RodrÃguez
Monegal berharap pernyataan pers ini bisa membantah kaitan antara jurnalnya
dengan CCF-CIA. Ia berharap bisa mengubah karangan ini menjadi kenyataan!“Il
faudra convertir cette fiction en réalité,” demikian tulisnya dalam
surat kepada Pierre Emmanuel di CCF (Emmanuel ini seorang penyair Perancis dan
pengurus CCF yang –kebetulan—sempat diperkenalkan kepada Goenawan Mohamad oleh
Ivan Kats di kantor CCF, Paris, meski konon tak lebih dari 30 menit).[13]
Permohonan RodrÃguez Monegal
dikabulkan: Ford Fundation mengambil alih skema pembiayaan Mundo Nuevo, tapi
tanpa pernyataan pers yang diharap-harapkannya itu. Pada 1968 RodrÃguez Monegal
mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Mundo Nuevo dan hingga
wafatnya terus bersikeras bahwa jurnalnya hanya pernah didanai oleh
Ford Foundation dan tak pernah oleh CCF. Kantor Mundo Nuevo dipindah
ke Buenos Aires dan arah jurnal itu bergeser lebih ke ilmu sosial daripada
sastra. Kualitasnya secara umum jauh menurun akibat sedikitnya penulis yang
masih mau menjadi kontributornya. Ford Foundation memberi tenggat pembiayaan
sampai tahun 1971 dan mengharapkan Mundo Nuevo bisa mandiri
secara finansial sesudahnya. Karena tidak sanggup, akhirnya majalah itu pun
tutup pada tahun tersebut.
Dari sini kita bisa melihat, para
budayawan sepuh Indonesia ternyata juga memilih cara RodrÃguez Monegal untuk
terus membantah kaitan antara CCF-CIA dengan proyek-proyek kebudayaan yang
mereka lakukan sekitar 1965 dan sesudahnya, sekalipun bukti-bukti menyatakan
sebaliknya. Pasca skandal terkuak, agen-agen CIA di dalam CCF mundur. CCF
dibubarkan dan berganti nama menjadi International Association for
Cultural Freedom (ICAF), tapi proyek ICAF berjalan terus. Tak satu pun
dari budayawan tadi yang melakukan kecaman publik atas kerja CCF di Indonesia,
tapi juga tak ada satu pun yang berani berterus terang menyatakan persetujuan
–sebagaimana Cabrera Infante—atas keterlibatan CIA dalam ketegangan politik di
Indonesia masa-masa itu. Yang ada hanya penyangkalan. Dan ini lagi-lagi
menguatkan sinyalemen Frances Stonor Saunders bahwa kerja propaganda budaya ini
memang harus menyangkal keberadaannya sendiri (“a central feature of this
programme was to advance the claim that it did not exist.”)[14] Maka
janganlah terlalu berharap akan adanya pertanggungjawaban sejarah dalam waktu
dekat, karena memang sepertinya sudah menjadi “tugas” sang budayawan untuk
terus menyangkalnya.
[1] Francis
Stonor Saunders, Who Paid the Piper? CIA and the Cultural Cold
War (London: Granta, 1999), hlm. 1.
[2] Goenawan
Mohamad, “Jawaban untuk Martin: Bagian Pertama,” 10 Desember 2013.
[3] Wijaya
Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Tangerang
Selatan: Marjin Kiri, 2013), hlm. 92.
[4] Marta
Ruiz Galvete, “Cuadernos
del Congreso por la Libertad de la Cultura : anticomunismo y guerra
frÃa en América Latina,” El Argonauta Español 3
(2006).
[5] Jean
Franco, The Decline and Fall of the Lettered City: Latin America in the
Cold War(Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2002), hlm. 45. Buku
yang mengupas secara mendalam Mundo Nuevo sebagai kepanjangan
tangan politik kebudayaan CCF dan imperialisme AS adalah karya MarÃa Eugenia
Mudrovcic, Mundo Nuevo: Cultura y Guerra FrÃa en la década del 60 (Buenos
Aires: Beatriz Viterbo, 1997).
[6] Lihat
Russell St. Clair Cobb, “Our Men in Paris? Mundo Nuevo, the Cuban
Revolution, and the Politics of Cultural Freedom,” disertasi di University of
Texas, Austin, Agustus 2007, hlm. 3-4.
[7] Mundo
Nuevo dikelola di bawah manajemen Instituto Latinoamericano de
Relaciones Internacionales (ILARI), yang juga menerbitkan tiga majalah lainnya
yakni Aportes, Cadernos Brasileiros, dan Temas.
Pada 1966 ILARI menerima dana AS$260.000 dari CCF, dan anggaran terbesarnya
(sejumlah AS$80.000) diperuntukkan buat Mundo Nuevo. ILARI sendiri
didirikan langsung oleh Michael Josselson sebagai organisasi proxy dengan
akta legal organisasi di Swiss. ILARI kemudian mewarisi semua kantor,
peralatan, dan personalia CCF di Argentina, Brasil, Cile, Peru, Uruguay,
membuka kantor-kantor baru di Paraguay dan Bolivia, serta menutup kantor yang
sudah ada di Meksiko dan Kolombia. Lihat Mudrovcic, op.cit., hlm.
25.
[9] Dalam
memoarnya mengenai masa-masa ini, José Donoso menyebut Mundo Nuevo-lah
yang paling bertanggungjawab atas “boom” sastra Amerika Latin
(“boom” di sini berarti lonjakan karya sastra Amerika Latin yang
diterjemahkan dan diterbitkan di luar negeri). Lihat José Donoso,Historia
personal del “boom” (Barcelona: Editorial Anagrama, 1972).
[10] Surat
Gabriel GarcÃa Márquez kepada Emir RodrÃguez Monegal, tanggal 24 Mei 1967. Dari
arsip surat-surat Emir RodrÃguez Monegal yang dikoleksi Princeton University.
Kotak 7, Map 12. Dikutip dari Cobb, op.cit., hlm. 161-163.
[12] Surat-surat
ini disimpan dalam arsip CCF-IACF, koleksi khusus University of Chicago.
Dikutip dari Cobb, op. cit., hlm. 13. Riset lebih lanjut tentang
peran CCF dan International Association for Cultural Freedom (IACF)
di Indonesia saya kira harus dilanjutkan dengan meneliti koleksi ini.
[13] Surat
RodrÃguez Monegal kepada Pierre Emmanuel, dikutip dari Russell Cobb, “The
Politics of Literary Prestige: Promoting the Latin American ‘Boom’ in the Pages
of Mundo Nuevo,” A Contracorriente Vol. 5 No. 3,
musim semi 2008, hlm. 86. Tentang perkenalan Pierre Emmanuel-Goenawan Mohamad,
baca Mohamad, op.cit.
Sumber: Sastra Alibi