Monday Nov 2009, 16
(Dengan Referensi
Khusus Kepada Penyair Rendra)
Oleh Ignas Kleden
I
Membicarakan
kedudukan seni dalam hubungannya dengan civil society merupakan suatu tantangan
yang tidak mudah dijawab, juga pada kesempatan ini. Tantangan ini telah saya
terima sebagai sebuah penugasan dari Dewan Kesenian Jakarta, meskipun saya
tidak terlalu paham mengapa tema ini dijadikan pokok pidato kebudayaan pada
hari ini. Tugas ini telah saya terima semata-mata karena pertimbangan bahwa
kesenian sebagai suatu sektor penting dalam kebudayaan, dapat dijadikan contoh
soal untuk melihat masalah yang lebih besar yaitu hubungan kebudayaan dan civil
society.
Sebagai
titik-tolak dapatlah dikatakan begitu saja bahwa kesenian dan setiap ekspresi
seni, pada dasarnya, adalah ekspresi pribadi seorang seniman, yang sangat
personal sifatnya. Tentu saja seorang seniman menerima pengaruh dari lingkungan
hidupnya, dan terlibat dalam pergaulan dengan berbagai pihak dalam suatu
masyarakat. Tiap-tiap lingkungan mungkin saja memberikan pengaruh tertentu
kepada seniman, dan dari pergaulannya dengan berbagai pihak muncul rangsang
yang berbeda-beda yang menyentuh sensitivitas seniman tersebut.
Namun demikian
segala pengaruh dan bebagai rangsang itu mengalami proses pencernaan mental
dalam diri seorang seniman, sehingga terhadap setiap pengaruh dan rangsang dari
luar, seorang seniman dalam ekspresinya, selalu memberikan suatu respons yang
personal dan unik. Patut ditambahkan, hal ini bukanlah sesuatu yang hanya
terdapat pada diri para seniman. Setiap orang, setiap individu, akan memberikan
respons yang bersifat pribadi kepada suatu stimulus dari luar. Namun yang khas
pada seorang seniman ialah bahwa respons pribadi itu selalu merupakan sebuah
respons yang artistik sifatnya, yang tidak selalu bisa diberikan oleh seorang
yang bukan seniman.
Terhadap tekanan
politik dan ancaman penjara, para aktivis yang berani bisa menyatakan perasaan
tak takut atau sikap tak gentar. Tetapi tidak setiap orang bisa menyatakannya
dengan artistik seperti yang dilakukan oleh Rendra ketika dia berkata:
Sebuah sangkar besi / tidak bisa mengubah seekor rajawali /
menjadi seekor burung nuri.
Rajawali adalah pacar langit
/dan di dalam sangkar besi / rajawali merasa pasti / bahwa langit akan selalu
menanti
(kutipan dari “Sajak Rajawali”) 1
Secara umum
sebuah ekspresi artistik akan tergantung sekurang-kurangnya pada dua kondisi.
Yaitu otentisitas pesan yang disampaikan, yang mempersyaratkan penghayatan
pribadi secara intens terhadap suatu soal, dengan melibatkan berbagai seluruh
kemampuan mental seseorang, lebih dari sekedar olah pikir atau olah rasa,
sehingga sebuah pesan menjadi ungkapan seluruh kepribadian. Kedua, orisinalitas
medium penyampaian, yaitu suatu cara penyampaikan yang unik, yang hampir tak
mungkin diubah atau ditransposisikan ke dalam bentuk penyampaian lain atas cara
yang sama indah dan sama kuatnya.
Dengan uraian
pendahuluan ini saya ingin mengatakan bahwa seni pada dasarnya hidup dan
berkembang dalam suatu ruang pribadi yang privat sifatnya, dan bukan produk
suatu ruang publik. Muncul masalah di sini, bagaimana menghubungkan seni yang
merupakan atribut ruang privat dengan civil society yang merupakan ruang
publik? Atau dapatkah kita berpikir sebaliknya, bahwa ruang publik dapat
menghasilkan suatu jenis kesenian yang lain dari yang kita kenal?
Dari satu segi
ruang privat perlu dipertahankan dan dipelihara karena ruang ini merupakan
tempat kebebasan pribadi digarap dan diolah, dan menjadi benteng yang
melindungi kebebasan seseorang dari campurtangan yang berlebihan dari pihak
negara mau pun intervensi lembaga-lembaga sosial. Dia merupakan tempat seseorang
mengolah cita-cita hidup sesuai dengan impian, keinginan dan selera pribadinya.
Para ahli
mengatakan bahwa ruang privat menjawab pertanyaan tentang hidup yang baik atau “the question of good life”.
Termasuk di sini keinginan yang berhubung dengan kehidupan cinta dan pandangan
religius serta cita-cita spiritual, selera makan dan pandangan tentang
kebersihan dan kesehatan, cara berpakaian, cita-cita tentang tempat tinggal,
dan selera estetik dan apresiasi kesenian. Semua hal tersebut terdapat dalam ruang
privat diatur dan diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai budaya.
Sebaliknya, ruang
publik yang kita namakan civil society adalah tempat di mana keadilan
dipertahankan dan dibela. Ruang ini hadir untuk menjawab pertanyaan yang
berhubung dengan “the question of justice”,
dan diatur oleh hukum negara. Hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
mempunyai tujuan agar setiap orang memperoleh keadilan yang menjadi haknya,
dengan kewajiban pada orang lain untuk menghormatinya. Keadilan menjadi faktor
yang membuat masing-masing orang mendapat tempat dalam suatu kehidupan bersama,
di mana kebebasan seseorang tidak melanggar atau mengorbankan kebebasan orang
lain. 2
Dengan demikian,
berlaku hemat dan menabung penting sekali untuk kehidupan yang aman secara
ekonomis, tetapi tiap orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukannya,
tanpa mereka bisa dipaksa oleh negara. Akan tetapi membayar pajak adalah
sesuatu yang berhubung dengan keadilan, berupa kewajiban kepada kehidupan umum,
yang diatur oleh hukum positif, dan dapat dipaksakan oleh negara. Demikian pun
mendidik anak dalam keluarga dengan disiplin dan kasih sayang, merupakan
persiapan pertama untuk pembentukan warga negara yang matang, mandiri dan
bertanggungjawab. Namun demikian, pendidikan anak adalah urusan domestik
keluarga, dan termasuk dalam ruang privat.
Negara atau
lembaga sosial tidak dapat memaksa suatu keluarga mendidik anak-anaknya atas
cara yang dipaksakan dari luar. Namun demikian, kekerasan kepada anak oleh
orang tuanya, dapat menimbulkan reaksi publik dan campur tangan negara, karena
di sana ada pelanggaran terhadap hak seorang anak untuk mendapatkan protective security.
Pada titik inilah terdapat suatu perbedaan hakiki antara negara demokratis dan
negara-negara totaliter yaitu bahwa demokrasi memberi ruang bagi ruang publik
dan ruang privat, sementara sistem totaliter melindas ruang privat dan hanya
mengakui ruang publik. 3
Seterusnya, dalam
suatu ruang politik, kehidupan bersama diatur bukan saja oleh hukum tetapi oleh
kekuasaan yang ada pada negara. Tidaklah mengherankan bahwa ahli sosiologi
seperti Max Weber mengatakan bahwa negara ditandai oleh satu-satunya hak
istimewa yang tidak ada pada lembaga lainnya, yaitu monopoli untuk
mempergunakan kekerasan atas cara yang legal.4 Di samping negara tidak
ada lembaga lain mana pun yang dibenarkan menyelesaikan suatu soal dengan
memakai kekerasan. Hak untuk memakai kekerasan ini ada pada negara agar dia
dapat memaksakan ketundukan tiap orang terhadap hukum yang berlaku.5
Secara tipologis
kita bisa mengatakan bahwa dalam ruang privat seseorang mengembangkan dirinya
menjadi individu, menjadi pribadi dan menjadi anggota suatu komunitas, dalam
ruang publik dia mengembangkan dirinya menjadi warga suatu negara, dan dalam
ruang politik dia menjelma menjadi rakyat suatu pemerintahan yang syah.
Hubungan di
antara ruang publik dan ruang politik atau di antara civil society dan negara
bersifat regulatif, karena kekuasaan yang ada pada negara dan monopoli
penggunaan kekerasaan yang dimiliki negara, harus tunduk kepada pengaturan dan
pembatasan oleh hukum positif.
Sebaliknya,
hubungan di antara ruang politik dan ruang privat atau antara negara dan
komunitas-komunitas budaya, bersifat subsidiair.
Negara diijinkan
masuk dalam ruang privat apabila dibutuhkan bantuannya. Kalau para seniman
memerlukan sebuah pusat kesenian, negara dapat diminta bantuan untuk
mengadakannya, tetapi negara tidak dibenarkan memaksakan pembangunan sebuah
pusat kesenian karena kebetulan ada dana untuk itu, apalagi memaksa para
seniman agar memanfaatkan gedung kesenian dan fasilitas yang telah disiapkan
oleh negara, atas cara yang ditentukan oleh negara.
Adalah menarik
bahwa hubungan di antara ruang privat dan ruang publik atau di antara
komunitas-komunitas budaya dan civil society, bersifat sangat kreatif. Sudah
jelas bahwa ruang publik diatur juga oleh nilai-nilai publik, seperti
persamaan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas.
Namun demikian,
munculnya ruang publik tidak dengan sendirinya, dan tidak harus menjadi saingan
yang menggeser atau menggusur adanya ruang privat dalam komunitas-komunitas
budaya. Hal ini dimungkinkan karena hampir semua nilai yang diterima dalam
ruang publik dan kemudian berlaku di sana, diambil dari komunitas-komunitas
budaya dan kemudian ditransformasikan menjadi nilai publik, setelah semua
atribut dan nomenklatur yang bersifat komunal ditanggalkan, sambil substansi
nilai itu tetap dipertahankan. Ini perlu dilakukan supaya suatu diskusi publik
dapat dilakukan.
Sebuah analogi
kiranya dapat menjelaskan hal ini. Bahasa Indonesia telah diresmikan sebagai
bahasa nasional, sedangkan bahasa itu diambil dari bahasa Melayu Riau yang
sejak berabad-abad berfungsi sebagai lingua franca. Kita tahu, suatu bahasa
menjadi lingua franca kalau bahasa itu digunakan sebagai sarana komunikasi tetapi
tidak berperan lagi sebagai penunjuk identitas suatu kelompok orang. Seseorang
yang fasih berbahasa Inggris dewasa ini, tidak dengan sendirinya berasal dari
San Fransisco atau Liverpool. Atau seorang profesor yang memberi kuliah dalam
bahasa Spanyol tidak harus berasal dari Madrid. Inilah rupanya sebab yang
jarang diungkapkan, mengapa bahasa Melayu dengan mudah diterima sebagai bahasa
nasional karena bahasa itu tidak lagi menjadi representasi suatu identitas
etnis tertentu, dan telah menjadi sarana komunikasi di antara berbagai kelompok
etnis sejak ratusan tahun. Lain halnya kalau bahasa Jawa, bahasa Sunda atau
bahasa Bugis diusulkan sebagai bahasa nasional. Mungkin timbul lebih banyak
kontroversi dan pertentangan karena bahasa-bahasa besar itu menunjuk dan
menjadi penanda suatu identitas etnis tertentu, yang mungkin sekali menimbulkan
penolakan dari kelompok etnis lainnya.
Atas cara yang
sama kita bisa berbicara tentang nilai-nilai publik. Apabila suatu komunitas
budaya hendak menyumbangkan seperangkat nilai-nilainya ke dalam kehidupan
publik, maka atribut-atribut dan nomenklatur komunal perlu dihilangkan (tanpa
menghilangkan substansi nilai yang dikandungnya) agar supaya nilai tersebut
dapat dipahami dan diterima oleh kelompok lainnya, karena nilai publik itu
telah menjadi suatu nilai bersama meskipun nilai-nilai itu telah lahir dan
dikembangkan dalam suatu komunitas budaya tertentu. Etos kapitan perahu yang
secara tradisional berlaku di daerah-daerah pesisir di Sulawesi, dilegitimasi
oleh nilai-nilai budaya setempat, dan legitimasi itu dilaksanakan karena
alasan-alasan sosial atau kosmologis yang berhubung dengan kebudayaan setempat.6
Namun demikian substansi etos itu dapat dibawa ke ruang publik, dan dapat
diusulkan sebagai alternatif terhadap budaya politik Indonesia, yang umumnya
diambil dari latarbelakang daerah pertanian. Kecenderungan kepada pola
kepemimpinan feodal, atau hubungan patron klien dalam politik Indonesia, jelas
berasal dari latar belakang masyarakat dan kerajaan-kerajaan yang berdasarkan
pertanian.
Sebagai
alternatif terhadap kecenderungan tersebut etos kapitan perahu dapat diusulkan
ke dalam diskusi dalam ruang publik, setelah segala alasan budaya yang menjadi
dasar dari etos tersebut dan setelah nomenklatur yang bersifat komunal ditanggalkan.
Karena pada dasarnya substansi etos itu –sekali pun tanpa disertai alasan-alasan
budaya yang bersifat komunal- dapat diterapkan dalam politik Indonesia, sebagai
negara dengan sifat maritim yang kuat. Ahli sejarah maritim, Prof. Adrian B.
Lapian, pernah mengeritik penamaan Indonesia sebagai negara kepulauan, karena
nama itu tidak menunjukkan aspek laut yang merupakan bagian terbesar dari
negeri ini. Istilah kepulauan masih memperlihatkan orientasi ke daratan,
sedangkan istilah negara kelautan lebih tepat menunjukkan watak negeri ini
sebagai kawasan maritim.
Istilah ‘negara
kepulauan’ merupakan padanan dalam bahasa Indonesia dari pengertian archipelagic state.
Jika kita menyimak arti sesungguhnya dari kata archipelago, maka (menurut kamus Oxford dan Webster)
kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut).
Jadi archipelagic state sebenarnya harus diartikan
sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara
pulau-pulau yang dikelilingi laut. Dengan demikian paradigma perihal negara
kita seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya.7
Dalam kaitan
dengan negara kelautan, maka etos kapitan perahu dapat menunjukkan orientasi
baru dalam budaya politik Indonesia. Pertama, dalam etos kapitan perahu,
seorang pemimpin perahu tidak mungkin didrop begitu saja dari atas, tetapi
harus bertumbuh dari bawah dan mencapai pengetahuan dan kematangan tertentu
yang dipersyaratkan. Dropping tentu saja bisa dilakukan, akan tetapi risikonya
akan sangat tinggi, karena kapitan perahu yang tidak menguasai pengetahuan
tentang navigasi, alur pelayanan, arah angin, tanda badai, cara menetapkan arah
perahu dengan membaca letak bintang, tidak akan sanggup membawa perahu dan
penumpangnya sampai ke tempat tujuan, atau perahunya segera menabrak karang dan
tenggelam. Ibaratnya, dia harus membawa perahunya dari Surabaya ke Makasar,
tetapi perahunya terdampar di Cilacap.
Kedua, dalam etos
ini diharuskan proses pengambilan keputusan yang cepat dan kemampuan mengoreksi
keputusan dalam waktu singkat. Ketika menghadapi topan di tengah laut seorang
kapitan perahu tidak bisa mengajak berunding para awak dalam musyarawarah
selama dua tiga jam. Dia harus memutuskan dengan cepat, misalnya pada pukul
23.00 malam, dan kemudian kalau keputusannya terbukti keliru, dia harus
mengoreksinya pada pk. 23.05. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan, dan
kelambanan atau keengganan untuk mengoreksi keputusan yang salah akan berakibat
fatal bagi keselamatan perahunya dan hidup para penumpang perahu.
Ketiga, dalam
menghadapi bahaya karamnya perahu maka seorang kapitan perahu akan menjadi
orang terakhir yang meninggalkan perahu, setelah penumpang lain mendapat
kesempatan menyelamatkan diri atau mendapat pertolongan yang semestinya. Secara
tradisional dia dilarang meninggalkan perahunya apabila masih ada penumpang
yang membutuhkan pertolongan. Tentu saja seorang kapitan perahu bisa juga
ketakutan menghadapi bahaya dan dapat meluputkan dirinya sebelum penumpang
lainnya selamat. Akan tetapi hal itu akan merupakan aib yang diceritakan
turun-temurun di kampung halamannya, dan turunannya harus menanggung malu untuk
waktu yang lama, karena ada kapitan perahu yang demikian pengecut menyelamatkan
diri sambil meninggalkan penumpang perahu terkatung di tengah laut, dihempas
ombak dan meninggal ditelan badai.
Tentu saja
lukisan tersebut lebih merupakan tipe ideal atau ideal types dalam pengertian Max Weber, yaitu
suatu tipe yang dilukiskan dalam kesempurnaan logisnya, sebagai referensi
normatif bagi apa yang sesungguhnya terdapat dalam kenyataan empiris. Jadi ada
kapitan perahu yang sangat dekat dengan tipe ideal dan ada pula yang sangat
jauh dari tipe ideal tersebut, tetapi kita mempunyai pegangan tentang bagaimana
seorang kapitan perahu harus berlaku dan bertindak apabila dia berada dalam
kondisi ideal untuk menjalankan tugasnya.
Apa yang
dikemukakan di sini tentang etos kapitan perahu, dapat menjadi ilustrasi bahwa
seperangkat nilai yang dikembangkan dalam suatu komunitas terbatas, dan
dilegitimasi dengan alasan-alasan budaya dalam komunitas itu, dapat ditransfer
dan diterapkan di ruang publik, asal saja segala alasan dan atribut yang
bersifat komunal telah ditanggalkan (agar supaya dapat dipahami oleh publik
yang lebih luas), sambil tetap dipertahankan substansi nilai yang dapat
diterapkan juga di luar komunitas itu.
Contoh lain yang
mungkin lebih aktual bagi kita adalah masalah hak asasi manusia. Saya yakin
bahwa tiap agama dapat mengajukan alasan yang diambil dari ajaran teologinya
untuk membenarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kewajiban tiap
orang membela hak tersebut. Akan tetapi dalam debat di DPR atau dalam proses di
pengadilan tentang pelanggaran HAM orang tidak bisa lagi mengajukan
alasan-alasan teologis dari agamanya masing-masing untuk membela pendapatnya.
Karena alasan-alasan teologis termasuk dalam ruang privat tiap agama, sedangkan
pengadilan negara mengharuskan suatu rujukan bersama kepada hukum positif.
Namun demikian
pentingnya HAM dan sikap militan para aktivis HAM dalam membela hak ini dapat
diterangkan dengan latarbelakang religius dari mana paham itu telah mendapat
inspirasinya. 8 Untuk mengambil sebuah contoh, dalam tradisi kebudayaan Barat
yang Kristen, ada teologi yang mengakar kuat bahwa tiap orang diciptakan
seturut citra Allah, imago Dei, das Bild Gottes, atau the image of God.
Dalam teologi ini dianut kepercayaan bahwa citra Tuhan itu adalah sesuatu yang
suci yang tetap ada dalam diri seseorang, sekali pun dia seorang pencuri,
pembunuh, atau seorang yang tidak percaya lagi kepada Tuhan. Kesucian citra ini
dalam diri tiap orang tetap harus dihormati karena dua alasan.
Pertama, citra
itu diberikan oleh Tuhan sendiri dan bukan prestasi orang bersangkutan. Kedua,
citra itu tetap hadir dalam diri tiap orang dengan seluruh kesuciannya,
meskipun seseorang melakukan perbuatan kriminal yang ekstrim. Setelah mengalami
proses sekularisasi yang panjang, konsep citra Tuhan ini tidak begitu
kedengaran lagi di Barat, tetapi diganti oleh konsep martabat manusia, yang
menjadi sumber segala hak asasi manusia. Nilai yang semula bersifat privat
dalam suatu kelompok agama telah menjadi nilai publik dalam civil society.
II
Pandangan bahwa
seni termasuk dalam ruang privat, mencapai puncaknya dalam paham dan slogan
“seni untuk seni” (art for art’s sake). Paham ini telah muncul dalam
kalangan seniman di Barat, dan harus dilihat kemunculannya dalam hubungan
dengan perkembangan kebudayaan di Barat juga. Semenjak zaman pertengahan,
kehidupan dalam masyarakat Barat praktis dikuasai oleh kendali teologi Kristen
katolik, yang ada dalam monopoli gereja Roma katolik. Seni dalam pada itu
berkembang sebagai sebuah bagian integral dari kehidupan keagamaan, dan
mengabdi kepada keperluan-keperluan yang berhubung dengan pengembangan dan
penyempurnaan ibadat. Kesenian, dan khususnya arsitektur Gotik misalnya menjadi
dokumen visual tentang hubungan yang erat di antara teologi, kehidupan agama,
dan seni.
Gagasan tentang
Tuhan yang transendental yang berada in excelsis, yaitu berada di tempat yang sangat tinggi,
mendapatkan refleksinya secara arsitektural dalam garis-garis vertikal yang
sangat dominan dalam arsitektur Gotik, sementara candi-candi katedral dibuat
lancip dan runcing menusuk langit, dan mengesankan usaha menggapai sesuatu yang
tak terjangkau dari bumi.9
Ide tentang seni
untuk seni adalah usaha pembebasan seni dari tugasnya sebagai kegiatan yang
harus melayani tujuan lain di luar dirinya. Contoh tentang seni dan agama dalam
abad pertengahan Eropa dan pembebasan dari fungsi keagamaan seni yang berlangsung
semenjak renaisans, memperlihatkan kepada kita bahwa dua sektor yang berada
dalam ruang privat (yaitu seni dan agama) dapat memperjuangkan otonominya
masing-masing.
Persoalan yang
menjadi perhatian kita hari ini adalah bagaimana hubungan yang wajar antara
seni sebagai suatu sektor privat dengan masalah-masalah yang ada dalam ruang
publik yang direpresentasikan dalam civil society. Pada titik ini pun seni dan
khususnya sastra Indonesia memperlihatkan berbagai contoh yang menarik.
Pertanyaan pertama adalah apakah suatu isu atau masalah publik harus menjadi
rujukan dalam berkesenian? Tanpa perlu beragumentasi lebih panjang, dapatlah
dikatakan begitu saja, bahwa paham ini jelas ditolak dalam kalangan seniman.
Ketegangan dan bahkan permusuhan antara seniman bebas dan seniman Lekra pada
tahun-tahun 1950-an hingga 1960-an patut dicatat sebagai pengalaman yang harus
dipelajari dalam sejarah sastra Indonesia, bukannya dihapuskan dari memori
kolektif bangsa kita.
Puisi misalnya
tidak harus ditulis untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat atau
perbaikan kesehatan ibu dan anak. Akan tetapi terhadap isu keadilan dan
kemiskinan, sastrawan Indonesia memperlihatkan sikap yang berbeda. Penyair
Rendra misalnya dengan tegas mengatakan bahwa sekalipun seni umumnya dan sastra
khususnya, harus dikembangkan berdasarkan disiplin artistik, namun dalam pesan
yang disampaikannya, seni dapat dan bahkan harus memberi respons kepada masalah
keadilan, pemerintahan yang bersih, atau pendidikan nasional yang merupakan
sektor-sektor publik. Pendapat ini mempunyai dasar dalam paham Rendra, bahwa
seorang seniman bukanlah seorang yang cukup bermewah-mewah dengan segala yang
indah, tetapi bertugas memberi kesaksian tentang zamannya. Atau dalam kata-kata
Rendra sendiri:
Aku mendengar suara / jerit hewan yang terluka. / Ada orang
memanah rembulan / ada burung terjatuh dari sarangnya. / Orang-orang harus
dibangunkan. / Kesaksian harus diberikan / agar kehidupan bisa terjaga 10
Meski pun
demikian dalam memberikan kesaksian ini seniman tetap berpegang pada disiplin
artistik yang dimungkinkan dalam dunia seni. Tentang keterlibatannya dalam
masalah-masalah publik ini Rendra berkata dalam sebuah sajaknya:
Gunung-gunung menjulang / langit pesta warna di dalam senjakala /
Dan aku melihat / protes-protes yang terpendam / terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, / tetapi
pertanyaanku / membentur jidat penyair-penyair salon,/ yang bersajak tentang
anggur dan rembulan, / sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya, / dan
delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan / termangu-mangu di kaki dewi
kesenian
(kutipan dari “Sajak Sebatang
Lisong”) 11
Apa yang
dinamakan disiplin artistik rupanya mirip fungsinya dengan metode dalam
berkesenian. Ini ada konsekuensinya yang berat buat seniman sendiri. Sebagai perbandingan,
dalam ilmu-ilmu sosial berlaku asas bahwa tidak semua masalah sosial dapat
diteliti dengan satu macam metode (misalnya statistik atau survei). Apa yang
akan menentukan metode yang digunakan adalah masalah yang hendak diselidiki
dalam suatu penelitian. Jadi bukan metode yang menentukan masalah yang
diteliti, tetapi masalah penelitianlah yang menentukan metode apa yang
sebaiknya dipergunakan, ibaratnya orang memukul paku dengan martil, tetapi
mencabut paku dengan sebuah tang.
Asas ini
diterapkan Rendra dalam konsepnya tentang disiplin artistik. Menurut dia.
pekerjaan seorang penyair (atau seniman pada umumnya) menjadi berat, karena dia
harus cukup sensitif menangkap masalah zamannya dan memberi kesaksian pribadi
tentang masalah tersebut, dan sekaligus dituntut menguasai format artistik yang
tepat dan sesuai dengan tuntutan pesannya. Demikianlah, untuk melukiskan
pengalaman dan kepekaannya terhadap alam, Rendra merasa cukup memakai
simbolisme dan imaji-imaji yang diambil dari tembang-tembang Jawa, yaitu
sajak-sajak yang kemudian terhimpun dalam Kakawin Kawin dan Masmur Mawar. Tentang pengantinnya dia berkata:
Awan bergoyang, pohonan bergoyang / antara pohonan bergoyang
malaikat membayang / dari jauh bunyi merdu lonceng loyang
Sepi syahdu, / madu rindu, / candu rindu,/ gairah kelabu / rebahlah, sayang, rebahkan wajahmu ke dadaku
Sepi syahdu, / madu rindu, / candu rindu,/ gairah kelabu / rebahlah, sayang, rebahkan wajahmu ke dadaku
Langit lembayung, pucuk-pucuk
daun lembayung / antara dedaunan lembayung bergantung hati yang ruyung / dalam
hawa bergulung antara mantra dan tenung
(Dari sajak “Nina Bobok Bagi
Penganten”) 12
Pada tahapan
berikut, khususnya ketika berada di New York, Rendra merasa terpanggil untuk
memberikan suatu tes kepada moral umum yang berlaku dalam masyarakat. Untuk
keperluan ini dia merasa simbolisme tidak memadai lagi, dan dia harus mencari
format artistik lain yang didukung oleh filsafat antropologi dan pengalaman
mistik. Disiplin artistik pada tahap ini dikembangkan dari kombinasi dan
tegangan antara misteri dan ambiguitas, yang tampil dalam metafor-metafor yang
surealistis sebagaimana terlihat dalam kumpulan sajak Blues Untuk Bonnie.
Tentang seorang Negro tua yang bernyanyi dengan gitar dalam sebuah café di kota
Boston, sambil berkisah tentang gubuk-gubuk tua orang Negro di Georgia, Rendra
berkata:
Georgia, / Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya / istrinya
masih di sana / setia tapi merana / anak-anak Negro bermain di selokan, / tak
krasan sekolah. / Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual / banyak hutangnya /
Dan di hari Minggu mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro / Di sana
bernyanyi / terpesona pada harapan akherat / karena di dunia mereka tak berdaya
Georgia. / Lumpur yang lekat di
sepatu /
Gubuk-gubuk yang kurang
jendela. / Duka dan dunia / sama-sama telah tua. / Sorga dan neraka / keduanya
asing pula. / Dan Georgia? / Ya, Tuhan / Setelah begitu jauh melarikan diri /
masih juga Georgia menguntitnya
(Dari sajak “Blues Untuk
Bonnie”) 13
Seterusnya antara
1971 dan 1978, menurut pengakuannya sendiri, Rendra memusatkan perhatian pada
soal-soal sosial-ekonomi dan sosial-politik, untuk memberikan suatu tes kepada
relevansi politis dalam kehidupan publik. Dia menulis beberapa sajak sosial-politis
yang kemudian dikumpulkan dalam kumpulan sajak Potret Pembangunan Dalam Puisi
dan juga dalam Orang-Orang Rangkasbitung. Untuk keperluan ini dia merasa
peralatan estetik dalam metafor-metafor surealistis tidak memadai lagi dan dia
mencari format artistik baru melalui analisa struktural ilmu sosial, dan
mencoba menggarap metafor-metafor yang lebih grafis dan plastis. 14 Dalam
melukiskan perjuangan cinta antara Saijah dan Adinda, plastisitas itu tampil
dalam format yang mendekati taraf ideal:
Adinda! Adinda! / Kemiskinan telah memisahkan kita / sepuluh tahun
menahan dahaga asmara / alangkah sulit cinta di zaman edan, / di dalam hidup
penuh ancaman. / Semua hak dianggap salah. / Tak punya apa-apa dianggap sampah
/ Alangkah hina orang yang kalah. / Meskipun miskin tanpa daya / aku toh harus
berupaya / karena takut gila / dan dosa
(Dari sajak “Nyanyian Saijah
untuk Adinda”) 15
Respons seni
terhadap masalah publik tidak selalu mudah dilakukan karena ada tuntutan yang
lebih tinggi kepada para seniman, untuk selalu mencari disiplin artistik dan
format estetik yang dapat mendukung pesan yang hendak disampaikan. Kesulitan
besar akan muncul kalau seorang penyair misalnya, hanya menguasai satu bentuk
pengucapan, satu disiplin artistik, dan memaksakan disiplin tersebut sebagai
sarana untuk menyampaikan berbagai pesan yang berbeda wataknya. Dalam kasus
Rendra, simbolisme yang berhasil mengungkapkan pergaulan penyair dengan alam,
barangkali akan menjadi gagap kalau dipaksakan juga menjadi sarana untuk
mengekspresikan kesadaran sosial atau kesadaran politis.
Kita bertanya:
mengapa gerangan seorang penyair perlu melibatkan dirinya dalam masalah-masalah
publik yang muncul dalam civil society dan masalah kekuasaan yang muncul dalam
politik? Dalam paham Rendra, ini harus dilakukan karena perlu dilakukan dan
dapat dilakukan oleh kesenian, meskipun dia tidak banyak menguraikan mengapa
hal ini ini perlu dan dapat dilakukan.
Dalam pandangan
saya, seni dapat memainkan peranan penting dalam memberi respons kepada isu-isu
publik sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, kita mengetahui bahwa
baik dalam ruang privat maupun dalam ruang publik selalu ada nilai-nilai yang
menjadi pegangan. Namun demikian, realisasi nilai-nilai itu terlaksana melalui
berbagai pranata yang melembagakan suatu nilai. Nilai-nilai demokrasi diwujudkan
dalam lembaga-lembaga politik seperti Pemilu, DPR, dan kebebasan pers, atau
nilai keadilan diwujudkan dalam lembaga-lembaga peradilan. Namun demikian,
kesulitan selalu timbul karena hubungan di antara nilai dan lembaga yang
mengejawantahkannya bersifat asimetris.
Maka nilai hanya
dapat diwujudkan melalui suatu pranata (sebagaimana cinta lelaki perempuan
diwujudkan dalam lembaga perkawinan), tetapi adanya suatu pranata tidak dengan
sendirinya merealisasikan nilai yang direpresentasikannya (seperti juga tidak
setiap perkawinan menjadi tempat penjelmaan cinta lelaki dan perempuan). Pemilu
merepresentasikan hak rakyat untuk menentukan sistem pemerintahannya, tetapi
pelaksanaan Pemilu tidak dengan sendirinya mewujudkan hak rakyat tersebut
(misalnya karena penggunaan pemaksaan dalam pemberian suara, atau karena rakyat
dipikat dengan sejumlah uang sogok untuk mendapatkan suara yang diinginkan).
Lembaga
pengadilan merepresentasikan nilai keadilan, tetapi tidak setiap lembaga
pengadilan merealisasikan keadilan bagi para pencari keadilan sebagaimana
mestinya, apalagi kalau lembaga-lembaga itu sudah dikuasai oleh semacam
jaringan mafia peradilan.
Kedua, setiap
orang yang menggunakan pengamatannya dengan cermat dapat melihat kesenjangan
antara nilai dan lembaga yang mengejawantahkannya. Namun demikin, ketajaman
dalam melihat dan merasakan kesenjangan itu ada secara khusus dalam diri para
seniman, Ini bukan karena para seniman lebih saleh, lebih sadar hukum, atau
lebih berkomitmen terhadap transparansi, tetapi karena dalam menciptakan
karya-karya kreatif yang berhasil, para seniman harus memenuhi tuntutan
otentisitas pesan yang hendak disampaikan , dan orisinalitas ekspresi dalam
pengungkapan pikiran dan perasaan. Otentik berarti bahwa suatu pesan yang
diungkapkan, merupakan hasil pergulatan pribadi yang intens dan total, dan
bukan sekedar buah pikiran intelektual atau letupan entusiasme emosional.
Pesan yang
otentik berbeda dari pesan yang benar, karena kebenaran pesan diukur
berdasarkan kesesuaian antara apa yang dikatakan dan apa yang ditunjuk oleh
oleh pesan bersangkutan, sedangkan otentisitas ditentukan oleh kesesuaian
antara apa yang dikatakan dan keyakinan serta penghayatan orang yang
mengatakannya. Demikian pun orisinalitas berarti bahwa cara mengungkapkan suatu
pesan, mencerminkan hasil suatu perjuangan khusus untuk mendapatkan bentuk
penyampaian yang unik. Keistimewaan sebuah karya seni ialah bahwa baik isi
pesan maupun bentuk penyampaiannya sekaligus merupakan pancaran kepribadian
seorang seniman yang memperlihatkan secara ideal keunikan tiap pribadi manusia
dan kemampuan tiap pribadi menyampaikan satu aspek kenyataan hidup secara khas.
Tidak
mengherankan bahwa para seniman akan sangat peka terhadap segala pesan, juga
pesan dan pernyataan yang disampaikan dalam ruang publik dan bahkan dalam ruang
politik (misalnya janji politik untuk lebih memperhatikan pendidikan atau
pernyataan mengenai kesejahteraan rakyat). Pesan-pesan dan pernyataan tersebut
akan diuji berdasarkan kriteria seniman dalam menilai sebuah karya seni, yaitu
otentisitas peryataan, dan orisinalitas ekspresi. Sebuah pernyataan yang tidak
otentik, hampir dengan sendirinya tidak mencerminkan pikiran dan perasaan orang
yang mengucapkannya, mana pula komitmen pribadinya terhadap pernyataannya.
Demikian pun sebuah pernyataan yang tanpa orisinalitas hanya merupakan replika
ucapan orang lain, atau reproduksi slogan dan wacana umum, sehingga tidak
mengesankan sebagai suatu ungkapan pribadi yang telah mengalami pergulatan
dalam mencari bentuk ekspresi yang unik. Apa yang tidak otentik menjadi palsu,
dan ekspresi yang tanpa orisinalitas menjadi kodian. Tentang kesenjangan ini
penyair Rendra membuat semacam deklarasi dalam puisi:
Aku tulis pamplet ini / karena lembaga pendapat umum /ditutupi
jaring laba-laba / Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk / dan ungkapan diri
ditekan / menjadi peng-iya-an
Apa yang terpegang hari ini /
bisa luput besok pagi / ketidakpastian merajalela / di luar kekuasaan kehidupan
menjadi teka-teki / menjadi marabahaya / menjadi isi kebon binatang
(Dari sajak “Aku Tulis Pamplet
Ini”) 16
Dan tentang
otentisitas pernyataan dan orsinalitas ekspresi Rendra berkata:
Apakah artinya janji yang
ditulis di pasir? / Apakah artinya pegangan yang hanyut di air? / Apakah
artinya tata warna dari naluri rendah kekuasaan? / Apakah artinya kebudayaan
plastik dan imitasi ini?
(Dari sajak “Ketika Udara
Bising”) 17
Kesenjangan
antara nilai dan wujud pengejawantahannya adalah jamak dalam kebudayaan. Akan
tetapi seni tidak memberikan toleransi kepada diskrepansi ini karena
otentisitas akan menuntut bahwa nilai harus dihayati secara total dan tuntas,
dan diinternalisasi menjadi personal, sementara orisinalitas tidak berkompromi
dengan imitasi, duplikasi, reproduksi dan pretensi. Semua ini tidak berhubung
dengan moral umum, tetapi tetapi dengan moral pribadi, yaitu apa yang diyakini
sebagai disiplin yang menjamin daya cipta. Namun demikian apa yang oleh
kalangan seniman dikemukakan sebagai syarat estetik dapat menjadi referensi
bagi kejujuran moral dan akuntabilitas politik.
III
Hubungan di
antara ruang privat dan publik tidak selalu jelas, karena kedua bidang itu
tidak merupakan dua medan yang terputus, tetapi bersambung secara dinamis.
Hubungan itu menjadi kontroversi yang belum selesai sampai hari ini dalam
bidang yang kita namakan ekonomi. Apakah ekonomi termasuk dalam ruang privat
atau ruang publik?
Semenjak Adam
Smith sudah dimaklumkan bahwa yang mengendalikan tingkahlaku ekonomi tidak lain
dari kepentingan perorangan, kepentingan pribadi. Penjual roti membuka tokonya
bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat
untung bagi dirinya. 18 Diandaikan bahwa bila setiap orang bekerja dan berjuang
untuk kepentingan dirinya, maka ada tangan tersembunyi yang akan mengatur
kepentingan-kepentingan pribadi itu sehingga menguntungkan semua orang. Campur
tangan kebijakan publik apalagi intervensi politik dalam pasar, hanya akan
mengakibatkan distorsi yang mengganggu kinerja invisible hands, dan pada giliran berikutnya
mengganggu kepentingan bersama.
Untuk
mempersingkat pembicaraan ini, dapat kita katakan bahwa ekonomi dapat dipandang
sebagai ruang privat, tempat setiap orang mencari ikhtiar untuk menciptakan
kehidupan yang baik, dan memberi jawaban kepada the question of good life yang menjadi tema dalam
ruang privat. Namun demikian, dalam prakteknya impian Adam Smith tidak selalu
menjadi kenyataan, karena kemakmuran suatu golongan acapkali tercipta karena
golongan lain yang lebih besar disingkirkan dari akses ke sumber daya ekonomi.
Pada saat itu muncul ketidakk-adilan, khususnya ketidak-adilan distributif,
sehingga ekonomi menjadi persoalan keadilan, persoalan publik. Para ahli
ekonomi sendiri sudah sejak lama mengakui bahwa apa yang dinamakan Pareto
Optimal tidak pernah ada, yaitu keadaan di mana seorang mendapat keuntungan
lebih banyak, tanpa menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Dengan cara yang
amat disederhanakan dapat dikatakan bahwa sejauh menyangkut kehidupan yang baik
atau good life ekonomi
termasuk dalam ruang privat, sedangkan sejauh menyangkut keadilan dan
ketidak-adilan maka ekonomi masuk dalam ruang publik. Kita tahu, persoalan
mengenai sifat privat dan publik dalam ekonomi sudah menjadi bahan perdebatan
para ahli dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad. Dalam negara-negara sosialis
ekonomi seluruhnya menjadi masalah publik, sedangkan negara-negara demokrasi
selalu berdebat tentang trade-off atau pergeseran antara ekonomi sebagai
ruang privat dan ruang publik. Di Indonesia masalah itu menjelma menjadi debat
tentang peran pasar dan peran negara dalam ekonomi, dan pilihan antara
liberalisasi pasar sebagaimana diusulkan oleh Washington Consensus pada 1994
dan peran kebijakan publik dalam ekonomi. Sementara itu kalau kemiskinan belum
menurun, lapangan kerja tetap sulit, dan harga barang terus naik, apakah hal
ini harus dilihat sebagai kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah?
Masalah ini
berada di luar pokok pembicaraan hari ini, tetapi mempunyai implikasi tertentu
terhadap persoalan seni dan civil society. Dari satu pihak sudah dikatakan
bagaimana seni dapat merespons masalah-masalah dalam civil society. Masalah
lain adalah apakah tema-tema kesenian mempunyai semacam akar sosial-ekonomi dan
sosial politik, yang kemudian bertunas dan berkembang sebagai sebuah karya
kreatif seni? Apakah seorang seniman, disengaja atau pun tidak, dinyatakan atau
pun disembunyikan, memperlihatkan sesuatu yang menyangkut latarbelakang dan
konteks konteks sosial-ekonomis dan sosial-politisnya, meski pun hubungan itu
telah ditransformasi melalui sublimasi estetik dan sofistikasi artistik? Di
antara pemikir-pemikir tersebut ada kesepakatan bahwa ada hubungan itu, ada
semacam social underpinnings dari
tiap karya seni. Masalahnya adalah bagaimana bentuk dan wujud hubungan
tersebut? 19
Filosof Adorno
misalnya beranggapan bahwa bukan hanya karya seni tetapi tiap teori ilmu
pengetahuan harus dipandang pertama-tama sebagai teori tentang masyarakat di
mana teori tersebut diproduksikan. Namun demikian, dalam hal seni, sebuah karya
bukannya menjadi pantulan atau refleksi keadaan sosial ekonomi dan sosial
politis masyarakat, melainkan lebih menjadi antitesa terhadapnya dan berada
dalam tegangan dialektis dengan masyarakatnya.20 Habermas dengan
mengikuti rekannya Walter Benjamin berpendapat bahwa dalam masyarakat borjuis yang
kapitalis banyak kebutuhan manusia yang berhubung dengan rasionalitas nilai (Wertrationalitaet)
sudah tidak mendapat tempat yang pantas dan bahkan diperlakukan sebagai ilegal,
karena tidak memenuhi tuntutan rasionalitas instrumental (Zweckrationalitaet) yang menjadi pedoman satu-satunya
dunia industri yang kapitalis. Beberapa dari kebutuhan tersebut adalah
pergaulan mimetis dengan alam, pergaulan dengan badan, keinginan untuk hidup
solider dengan orang lain, serta keinginan untuk merasakan kebahagiaan menghayati
pengalaman komunikasi yang tidak serba pragmatis. Semua ini kemudian tertampung
dalam kesenian yang memberi tempat secara real atau secara virtual untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut. 21
Paham-paham
filosofis dan sosiologis itu dapat ditarik implikasinya untuk kehidupan
kesenian di Indonesia. Kalau setiap karya seni mempunyai semacam social underpinnings atau
akar kemasyarakatan, maka kosekuensi apa yang dapat kita tarik dari sana?
Pertama, dapatkah
dengan mendalami karya-karya seni di Indonesia, kita memperoleh suatu impresi
bahkan pengetahuan mengenai perkembangan masyarakat kita, karena kesenian
melalui sofistikasi estetis dan sublimasi artistik dapat mengungkapkan berbagai
masalah sosial kita atas caranya sendiri, baik dengan menyatakannya maupun
dengan menyembunyikannya? Kita tahu bahwa dalam simbolisme seseorang dapat
menyatakan sesuatu dengan menyembunyikan, dan dapat menyembunyikan sesuatu
dengan menyatakannya. Kedua, sekalipun karya seni dapat menjadi tempat
konflik-konflik sosial ekonomi diungkapkan secara tersirat dan tersembunyi,
apakah hal ini berarti bahwa seni dapat menjadi tempat seseorang menyembunyikan
diri dan menghindari konflik-konflik sosial ekonomi, atau harus menjadi tempat
orang mengungkapkan konflik-konflik tersebut sebagai bentuk tanggungjawabnya
terhadap perkembangan yang ada dalam masyarakat?
Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut hanya dapat diberikan oleh para seniman sendiri berdasarkan
opsi pribadi yang mereka tentukan sendiri, dan berdaarkan penguasaan mereka terhadap
masalah masyarakatnya dan ketrampilan mereka dalam menggunakan format estetik
dan disiplin artistik yang mendukung pesan yang hendak disampaikan. Kita dapat
berbahagia bahwa ada seniman-seniman kita seperti penyair Rendra telah
menyatakan sikapnya secara gamblang, tanpa keraguan:
Orang-orang miskin di jalan / yang tinggal di dalam selokan / yang
kalah dalam pergulatan,/ yang diledek impian, / janganlah mereka ditinggalkan
(Dari sajak “Orang-Orang
Miskin”) 22
Pesan penyair ini
tentu saja tidak hanya tertuju kepada rekan-rekannya para seniman, dan
khususnya para penyair Indonesia, tetapi kepada semua kita sebagai penghuni
yang sah dari civil society yang bernama Indonesia.
Jakarta, 31 Oktober 2009
___________________
Catatan
kaki:
1. Kutipan dari Rendra, Perjalanan Bu Aminah (kumpulan sajak), Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 1997 : 1.
2. Distingsi privat dan publik ini dibuat
berdasarkan teori liberal sebagaimana diuraikan oleh Bruce Ackerman dalam
bukunya Social Justice in the Liberal
State(1980) yang dibahas oleh Seyla Benhabib “Models of Public
Space: Hannah Arendt, the Liberal Tradition, and Juergen Habermas” dalam Craig
Calhoun (ed.), Habermas And The Public Sphere, Cambridge –
Massachusetts – London, The MIT Press, 1992 : 81 -85.
3. Peter Uwe Hohendahl, “The Public Sphere: Models
and Boundaries”, dalam Craig Calhoun (ed.), op.cit.:
100 -101.
4. Max Weber menamakannya “das Monopol legitimer
Gewaltsamkeit” atau monopoli penggunaan kekerasan secara legitim, sebagai hak
istimewa negara di samping haknya menarik pajak. Lihat Max Weber, Wirtschaft
und Gesellschaft, Tuebingen, J.C.B. Mohr, 1985 (1922) : 821 – 824.
5. Tentang pembagian ruang privat, ruang publik dan
ruang politik lihat Juergen Habermas, Strukturwandel der Oeffentllichkeit, Darmstadt &
Neuwied, Luchterhand Verlag, 1980 : 42 – 46.
6. Konsep “kapitan perahu” dikemukakan oleh Prof.
Mattulada berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukannya tentang budaya
pesisir di Sulawesi.
7. Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009 : 2.
8. T. S. Kuhn, seorang ahli sejarah ilmu
pengetahuan, mengemukakan dalilnya bahwa suatu teori ilmu pengetahuan sering
menimbulkan sikap militan dalam kalangan penganutnya untuk membelanya. Hal ini
disebabkan karena selain isi empirisnya, ada semacam metaphysical underlay
dalam setiap teori, yang berhubung dengan pandangan dunia dan pandangan hidup
seseorang. Berubahnya sebuah teori ilmu pengetahuan dikuatirkan akan mengganggu
pandangan dunia dan pandangan hidup seseorang. Lihat T. S. Kuhn, The Structure of Scientifc
Revolution, Chicago, University of Chicago Press, 1962 : 58 -61.
9. Dr. Wendelin Rauch & Dr. Jakob Hommes (ed.), Lexikon des Katholischen Lebens,
Freiburg, Verlag Herder, 1952, sub voce “Kunst”.
10. Kutipan diambil dari wawancara Hardi dan Rendra
“Rendra: Saya Punya Mental Juara”, dimuat dalam Edi Haryono (ed.), Ketika
Rendra Baca Sajak, Kepel Press, 2004 : 133 – 134.
11. Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Jakarta, Pustaka Jaya,
1993 : 34.
12. Rendra, Empat Kumpulan Sajak, Jakarta, Pustaka Jaya, 1994 :
44.
13. Rendra, Blues Untuk Bonnie, Jakarta, Burungmerak Press, 2008 :
18.
14. Tentang perkembangan disiplin artistik baca uraian
Rendra dalam Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (diedit oleh Pamusuk
Eneste), Jakarta, Gramedia, 1984 : 61 -70.
15. Rendra, Orang-Orang Rangkasbitung, Depok, Rakit, 2001 : 32 –
33.
16. Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi : 31
17. Rendra, Perjalanan Bu Aminah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1997 : 19.
18. Kutipan yang sangat terkenal dari Adam Smith
berbunyi: “It is not from the benevolence
of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from
their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity
but to their self-love, and never talk to them of our own necessities but of
their advantages”, Lihat Adam Smith, The Wealth of Nations, vol.I, London, J.M. Dent &
Sons Ltd, 1957 : 13.
19. Masalah ini telah saya bahas dalam tulisan saya
yang lain tentang “Pergeseran Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan
Sosial”, dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, Jakarta,
Grafiti & Freedom Institute, 2004 : 367 – 403.
20. Theodore W. Adorno, Aesthetische Theorie, Frankfurt a.M., Suhrkamp, 1977 :
19.
21. Juergen Habermas, Kultur und Kritik, Frankfurt a.M., Suhrkamp : 318.
22. Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi : 82 82.
PIDATO KEBUDAYAAN 2009
MEMPERKUAT MASYARAKAT SIPIL DENGAN KESENIAN UNTUK MENGELOLA NEGARA DAN
PASAR LEBIH BAIK: SENI DAN CIVIL SOCIETY
Oleh: DR. IGNAS KLEDEN
Selasa, 10
November 2009
Pukul 19.30 WIB – selesai
Graha Bhakti Budaya – Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73
Jakarta Pusat
Pukul 19.30 WIB – selesai
Graha Bhakti Budaya – Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73
Jakarta Pusat