Jumat, 09 September 2016

Pameran Tunggal [Solo Exhibition]

Penulis: Misbach Tamrin


 
Seniman dengan karya seninya memerlukan apresiasi masyarakat. Jika seniman penganut paham “seni untuk seni” (l’art pour l’art), tak peduli atas orang lain di luar diri dan seninya. Bisa jadi, seperti Robinson Croesu yang ingin hidup bersendiri di sebuah pulau, tanpa mahluk lain. Apakah mungkin?

Namun, itu hanya sebuah legenda. Mana bisa mungkin, seniman berkarya seni hanya untuk dinikmatinya sendiri, tanpa perhatian orang lain. Begitulah, pelukis dengan karya lukisannya memerlukan apresiasi masyarakat. Misalkan antara lain lewat pameran bersama
.
Bagi perupa atau pelukis dengan karya lukisannya yang tampil melalui pameran bersama. Sebagai bukti ia memerlukan kawan atau mitra pelukis-pelukis lainnya di bawah naungan kebersamaan suatu komunitas senirupa. Dari sana ia telah menggelar karya seninya. Buat menampilkan figur jati diri (identitas) kesenimanannya. Di tengah karya-karya perupa lainnya dalam ajang perhelatan suatu pameran.


Tapi, pameran sebagai kepanitiaan atau lembaga, yang diikuti sang pelukis, punya prosedur dan perangkatnya sendiri. Dalam arti jalur aturan tehnisnya, gampang-gampang susah. Gampangnya, jika pelukis telah mencipta karya yang diyakininya bagus relatif bisa masuk pameran. Susahnya, harus melalui proses penyeleksian oleh peran seorang kurator atau tim kurator pameran. Tapi kuncinya jika diyakini karyanya memang bagus, dibuat dengan sebaik dan setekun mungkin, diperkirakan bisa lolos.

Dalam apresiasi masyarakat. Disamping karya sipelukis tak lepas dari lirikan penonton yang berkeliling diseputar ruang pameran. Tentu, ia juga mengharapkan penilaian publik terhadap karyanya yang terpajang. Ia sudah cukup bangga karyanya tercantum dalam catalog. Tapi lebih senang lagi, jika di antara pengamat senirupa yang ternama menuliskan respons pendapatnya yang minimal bagus terhadap karyanya. Apalagi jika ada kolektor yang tertarik untuk membeli sebagai koleksinya.

Nah, jika lewat pameran bersama, dalam tingkat pencapaian secara nasional, sudah terbiasa dengan mudah diikut sertakan. Sesuatu pameran senirupa selanjutnya,dalam rentang waktu yang mungkin dinantikan relatif panjang. Sebagai tujuan utama yang paling ideal bagi sang perupa untuk mencapai tingkat puncak penampilan. Adalah berupaya sedapat mungkin muncul lewat pameran tunggal (solo exhibition). 

Sebab, manfaat melalui pameran tunggal, siperupa dapat mengevaluasi perkembangan kinerja senirupa personalnya secara khusus dan otonom. Baik dalam retrospeksi kegiatan berkaryanya selama kurun waktu tertentu. Maupun untuk memperoleh standar penilaian apresiasi masyarakat terhadap hasil karyanya.

Di sini, sang perupa mulai menghadapi tantangan yang cukup problematik. Jauh berbeda ketimbang untuk hanya mengikuti pameran bersama. Tantangannya cukup bersegi banyak. Mulai soal biaya penyelenggaraan yang cukup memakan dana cukup besar. Proses antrean giliran pendaftaran menggunakan tempat pameran. Biasanya melalui sileksi yang cukup ketat. Sehingga memerlukan waktu penantian yang cukup lama. Jikapun pakai sponsor, tak gampang pula risiko dan konsekwensinya.

Hingga, yang paling berat dan krusial. Terutama soal persiapan mengumpulkan karya-karya senirupa yang bakal ditampilkan. Di sinilah, kita akan banyak menghadapi berbagai kendala dan lika-liku rintangan yang sangat menantang. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi saya selaku pelukis anggota Sanggar Bumi Tarung yang berdiri sejak tahun 1961 di Yogyakarta. 

Di sekitar tahun 60-an, saat kami masih kuliah di ASRI sambil hidup bersanggar Bumi Tarung. Kami hanya mengenal pameran bersama. Selalu tampil demi apresiasi. Sangat berbeda dengan sekarang,, pameran sekaligus untuk cari duit. Kolektor saat itu belum seberapa banyak. Mereka hanya berada disekitar para pelukis senior terkenal seperti Affandi, Sudjojono, Hendra, Sudarso, Trubus dan lain-lain.

Apalagi, terhadap karya-karya kami para pelukis SBT yang dianggap mereka ekstrem bertema politik, tak begitu dilirik.


Nah, setelah kami bebas dari tahanan rezim Orba, kembali ketengah masyarakat. Pada awalnya, belum berarti kami bisa otomatis berkarya secara normal. Sekian lama kami masih terbius rasa trauma. Tak tahu apa yang harus di perbuat, Apa yang bisa dilukis untuk hidup. Ketika sebelumnya terbiasa melukis tema politik yang kini tak mungkin diteruskan, jika tak ingin kembali kepenjara lagi.

Ternyata Amrus Natalsya dan Djoko Pekik yang duluan bebas dari saya, dengan cepat mengadaptasikan kariernya kembali ketengah pasar senirupa masyarakat Orba. Jika Amrus, kami kenal dengan intelektualitas dan kegigihan vitalitas kerjanya, wajar saja ia mampu tampil tanpa masalah. Dalam tempo singkat ia muncul dengan sukses lewat beberapa kali pameran tunggal patung dan lukisan kayunya.

Tapi, yang sangat luar biasa adalah penampilan Djoko Pekik. Ia, tadinya kami kenal lugu dan blo’on, tak suka baca buku, asal keturunan suku Samin dari desa Purwodadi ini, sering kami lecehkan seperti anak petani melukis, di sanggar. Ternyata, tahu-tahu melejit namanya, melambung tinggi diangkasa bagaikan bintang, hanya karena muncul lewat sebuah pameran tunggal yang memajang 3 buah lukisan. Memang peristiwa pameran KIAS dan peran Astri Wright bersama Joseph Fischer telah menunjang namanya terorbit.

Lain lagi penampilan saya, yang setelah bebas tahun 1978, direkrut Pemda Kalsel dan Kalteng membantu dalam tugas keindahan tata kota. Membuat monumen, patung, relief, mural, ornamen dan pertamanan. Baru, kemudian aktif lagi kembali kehabitat karier melukis di sekitar tahun 2000. Setelah malang melintang bergelut di kegiatan senirupa lebih dari satu decade. Dengan banyak mengikuti event-event pameran bersama. Maka pada tahun 2015, pameran tunggal perdana saya, baru terselenggara di Galeri Nasional Indonesia (Galnas) Jakarta, dalam usia 74 tahun. 

Bayangkan! Saya teringat dengan pelukis senior almarhum Sudarso, hampir mencapai usia 90 tahun, baru beliau bisa pameran tunggal. Apa sebabnya? Karena, kata beliau, sulit dan tidak gampang mengumpulkan karya-karya lukisan pribadi untuk mempersiapkan pameran tunggal. Di samping,atas dasar keperluan tampilan motivasi apa yang harus dipikirkan, tanpa mendesak, hingga tertunda-tunda. Juga setiap kita habis selesai melukis, lantas lukisan yang telah jadi itu dibawa pulang kolektor. Kenapa dilepaskan, tidak ditahan untuk dikumpulkan? “Karena saya memang perlu duit” kata pak Darso menyudahi.

Begitulah, seperti pengalaman pelukis senior Sudarso tersebut di atas, terulang pula kepada nasib saya selaku pelukis 2 angkatan di bawah beliau. Ternyata, pameran tunggal cukup berat untuk senasib kami. Tentu, tidak semua pelukis bernasib demikian. Malah, tidak sedikit perupa muda, yang sukses pasar di era senirupa kontemporer globasi sekarang, yang telah berjibun kali menampilkan pameran tunggalnya, hingga keluar negeri di manca negara. Terkadang, di balik rasa syukur, terselubung : “untung tak bisa diraih, dan sialpun tak terelak”, begitulah mungkin bunyi pribasa yang menggelayuti nasib seseorang seperti kami

***

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1586885331614879&id=100008802812263

0 komentar:

Posting Komentar