Rabu, 06 November 2019

MOOI INDIE

Darwati Utieh

(Foto: lukisan Basuki Abdullah)
Bahkan orang tak punya selera seni pun terpukau lukisan naturalistik. Tak perlu kuliah di jurusan seni rupa hanya untuk menikmati sebuah lukisan pemandangan suasana pagi pedesaan dihiasi kebeningan air kali yang mengalir dibawah jembatan kayu nibung di sekitarnya. Begitu elok. Begitu molek.
Lukisan dengan daya pikat romantisme yang kuat pernah menjadi trend di Hindia Belanda awal abad XX. Gerakan seni rupa ini juga didorong oleh pemerintah untuk mendongkrak pariwisata di negeri jajahannya. Para perupa macam Willem Jan Pieter van der Does, Manus Bauer, Carel Dake, Lee Man Fong, Raden Saleh, antara lain, diminta melukis alam Indonesia untuk dipamerkan di Eropa dengan tujuan menarik wisatawan bule.
Bagi perupa barat Hindia Belanda adalah lokasi segala keindahan bersemayam. Ia ibarat telaga tempat orang menimba ilham kemolekan yang tak habis-habisnya.
Gerakan ini menekankan emosi yang kuat dari pengalaman estetika. Lukisan Mooi Indie mudah dikenali dari tampilan fisiknya. Bentuk dasarnya pemandangan alam dihiasi sawah, gunung, pohon, bunga, pantai, penari, perempuan dan lelaki desa. Ringkasnya menggambarkan romantisme Indonesia, keadaan Hindia Belanda saat itu, yang asli atau natural.
Pada mulanya istilah Mooi Indie (Hindia Belanda Yang Molek) pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi 11 lukisan pemandangan cat air milik perupa Belanda Fredericus Jacobus du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portfolio di Amsterdam tahun 1930.
Namun istilah tersebut jadi populer berkat perlawanan yang diberikan oleh maestro S.Soedjojono yang mengejek seni itu dengan label "trinitas": gunung, sawah, pohon sebagai objek yang selalu hadir. Ia tampil sebagai pengeritik pertama dan paling vokal gerakan romantisme ala Belanda ini dalam artikelnya di majalah Kebudayaan dan Masyarakat, Oktober 1939.
"Benar Mooi Indie bagi si asing yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah. Benar Mooi Indie bagi si turis yang telah jemu melihat skyscapers dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang sahaja".
Bagi Soedjojono pelukis mestinya, 
"Menggambar juga pabrik-pabrik gula, si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantolan si pemuda, sepatu, celana, dan baju garbadin pelancong di jalan aspal. Inilah keadaan kita. Inilah realitet kita," tulisnya.
Dan ia menyebut pandangan seni rupanya sebagai "realisme". Kelak setelah merdeka realismenya bertemu dengan "realisme sosialis" ala Lekra. Klop.
Tapi bukankah Mooi Indie juga sebuah "realisme"?

0 komentar:

Posting Komentar