Rohmatul Izad* - 01/08/2019
Tidaklah mudah untuk memulai suatu perbincangan tentang
kritik sastra pada saat ini. Kita hampir selalu berada dalam keraguan dan
perasaan yang kurang enak.
Apabila kita hendak mengatakan kritik sastra tidak ada,
atau kita tidak punya kritik sastra, rasa-rasanya seakan mau meniadakan sebuah
upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan untuk menjadikan kritik sastra itu
ada.
Sastra adalah sebuah oase kecil di tengah-tengah keluasan
hamparan padang pasir dan kritik sastra adalah angin yang melintas di sekitar
oase itu. Publikasi sastra kita memang sangat terbatas, begitu pula dengan
karya kritik sastra. Kritik sastra kita boleh dibilang masih berupa angin lalu
yang tertiup sepoi-sepoi melintasi oase di tengah gurun pasir.
Di era H.B Jassin dulu, banyak yang mengatakan kritik
sastra ada. H.B Jassin sendiri adalah seorang kritikus sastra. Orang-orang
menjadi sastrawan setelah dibicarakan oleh H.B Jassin.
Tetapi, kita bisa bertanya, bukankah kemampuan H.B Jassin
terbatas? Tentu sangatlah terbatas waktu yang digunakan H.B Jassin betapapun
tekunnya membaca banyak karya-karya sastra yang berhamburan di atas mejanya. Di
samping pandangan-pandangan kesusatraan, ia juga diuji dengan zaman yang terus
berubah.
Sehingga jangan heran bila di zaman ini, dengan tidak
melupakan jasa H.B Jassin di masa lalu, akan selalu ada para sastrawan yang
mengatakan bahwa H.B Jassin memang besar dan hebat, tetapi dia lebih besar dan
lebih layak disebut seorang dokumentator sastra Indonesia dibandingkan dengan
seorang kritikus sastra.
Sekarang ini, hampir tidak ada lagi paus kesusatraan. H.B
Jassin sendiri dijuluki dengan paus kesusastraan. Tidak ada dokumentator sastra
dan tidak ada ketekunan untuk mengabdikan selama seluruh hidupnya kepada sastra
seperti H.B Jassin.
Dalam situasi yang cenderung berubah ini, penciptaan
karya sastra terus berlangsung, walaupun tanpa kritikus sastra yang berwibawa.
Penulisan esai-esai terus berlangsung, untuk karya-karya yang dipilih,
rasa-rasanya tetap timpang. Jumlah karya sastra jauh melampaui dari kritik
sastra atau esai-esai yang dilahirkan pada zaman ini.
Hari ini hampir siapa saja bisa menjadi “kritikus sastra”
atau menjadi komentator yang kritis terhadap karya sastra. Orang-orang dari
kelompok keagamaan, ibu-ibu rumah tangga, pegawai negeri, dan wartawan,
semuanya bisa bicara tentang sastra dengan nada yang cukup kritis. Tetapi
sebetulnya itu semua tidak lebih dari perbincangan tentang sastra dari orang-orang
yang mengapresiasi secara alakadarnya.
Lantas di manakah kedudukan para kritikus? Pertanyaan ini
boleh jadi selalu menganggu, dan banyak yang terganggu oleh keraguan, siapakah
yang dimaksud dengan kritikus?
Sebetulnya yang kita harapkan sebagai kritikus adalah
para akademisi yang banyak menekuni pembacaan sastra. Juga, pada saat yang
sama, mereka menguasai teori-teori sastra yang bisa dia gunakan untuk membahas
karya-karya yang dia baca, dengan memberikan alasan-alasan yang kritis terhadap
penilaiannya, yang tentunya bisa dipercaya karena bertolak dari ilmu
pengatahuan yang dia kuasai.
Tapi sayangnya, meskipun sekarang ini banyak sekali
ahli-ahli di bidang kesusatraan, atau ahli-ahli teori sastra, tetapi semuanya
tidak cukup untuk melahirkan seorang kritikus sastra. Mengapa bisa begitu?
Karena menjadi kritikus sastra sudah dianggap bukan sesuatu yang menarik.
Mereka tidak bisa hidup sebagai kritikus.
Sesekali memang ada juga yang menguasai teori, dan
apresiasi itu digunakan untuk membahas karya-karya sastra tertentu, yang memang
ada nilai kritiknya, tapi sangat terbatas pada karya-karya pilihan dan
jumlahnya pastilah sangat jauh dari kata memadai.
Ruang kritik sastra ini juga lebih banyak beredar di
media sosial ketimbang di surat kabar. Artinya, dunia kritik sastra kurang
memiliki antusiasme dalam menghasilkan pertarungan pemikiran, yang kemudian
dibukukan sebagaimana polemik-polemik sastra yang terjadi di masa lampau.
Selain itu, surat kabar atau koran tak lagi melahirkan
perdebatan sastra. Alasannya, selain koran tak memuat tanggapan, para medioker
juga lebih cenderung lari ke media sosial.
Terkait dengan berkurangnya interaktivitas kolom sastra
dan budaya di koran, kini banyak wartawan yang dipaksa menjadi pengulas seni.
Boleh jadi, redaktur seni dan budaya yang memang benar-benar jeli sudah tidak
ada lagi, sehingga orang-orang yang tidak berkapasitas sebagai pegiat seni dan
sastra berkecimpung bukan di bidangnya.
Posisi dan peran seorang kritikus sastra memang sangat
rumit dan banyak sekali risikonya. Namun kehadiran mereka sangatlah diharapkan
oleh para pembaca sastra dewasa ini, meskipun waktu yang tersedia buat mereka
sangatlah terbatas.
Kita memerlukannya sekaligus mengharapkannya, karena
memang kehadiran mereka sangat diperlukan. Pertama, untuk memberikan
pemantaban terhadap pengembangan upaya apresiasi sastra dalam masyarakat
Indonesia. Kedua, untuk menegaskan tingkat pencapaian mutu dari kesusatraan
kita di tengah-tengah gelombang besar sastrawan dunia.
Sekarang, ini semua masih belum kita dapatkan.
Keberuntungan kita lebih banyak berupa kehadiran esai-esai yang hebat, yang
sesekali, dilahirkan oleh esais-esais hebat tanpa prevensi untuk menjadi
seorang kritikus sastra yang hebat.
___
*Rohmatul Izad, Penulis. Alumni Magister
Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Dosen Filsafat di IAIN
Ponorogo
0 komentar:
Posting Komentar