Jumat, 03 Agustus 2018

Tasawuf Ibnu Arabi dalam Keris Jawa


Penulis: Nur Ahmad Jumat, 03 Agustus 2018


Pada suatu konferensi Internasional di Belanda, Karel Steenbrink, profesor di Universitas Utrecht, menutup acara tersebut dengan sebuah kesimpulan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang mengakomodasi ekspresi kebudayaan lokal. Pernyataan ini tidak keliru.

Kenyataannya Islam yang tumbuh di Nusantara menjadikan tradisi daerah sebagai wahana untuk menyampaikan ajaran agama. Namun apakah semua ekspresi kebudayaan lokal itu diterima begitu saja oleh Islam? Nah disini lah terdapat kekurangcermatan kesimpulan di atas.

Terdapat dialektika yang begitu intens antara para pendukung legal-formal Islam (fikih) dengan para pendukung mistisisme Islam (tasawuf), misalnya, pada sepanjang sejarah Islam di Nusantara menyangkut aspek-aspek mana yang bisa diterima langsung, perlu diubah sebagian, atau ditolak sama sekali.

Contoh cukup klasik dalam hal ini adalah antara Syekh Siti Jenar dengan para wali lainnya. Juga bisa diambil sebagai contoh adalah perdebatan antara Syekh Cebolek dengan para ulama yang mewakili keraton.
Juga bisa ditanyakan bagaimanakah proses akomodasi itu dilakukan? Apakah akomodasi itu muncul sebagai gejala tunggal yang tidak mendapat tantangan apapun?

Perlu penelitian-penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan tuntas mengenai hal ini. Namun sejauh bukti yang dapat diperoleh menyatakan bahwa terjadi hubungan tarik menarik yang sangat intens antara unsur-unsur pra-Islam dan pasca-Islam, termasuk di dalamnya antara Ahlussunnah dan Syiah, untuk memperebutkan eksistensinya dalam Islam di Nusantara. 
Hal ini bisa dicontohkan dengan perubahan dari tasawuf al-Ghazali yang muncul di masa awal perkembangan Islam di Jawa, sebagaimana diabadikan dala ajaran tasawuf Sunan Bonang seperti dalam penelitian Drewes di The Admonition of Seh Bari, menuju ke tasawuf Ibnu Arabi yang mendominasi Jawa hingga abad ke-19 paling tidak seperti terwujud dalam sastra serat dan suluk Jawa.

Namun akhirnya tasawuf al-Ghazali kembali merebut tempatnya dengan tokoh-tokoh yang mendukungnya seperti Kiai Shaleh Darat, Semarang.
Kita juga dapat menanyakan, apa yang dihasilkan dari proses akomodasi tersebut ? Dalam kalimat yang lebih spesifik, apa yang dihasilkan dari masuknya tasawuf (Islam) ke kebudayaan Jawa (Nusantara)?

Salah satu jawabannya adalah tasawuf menjadikannya ladang kreatif ekspresi kesenian Islam. Misalnya, dalam hal pemaknaan wayang. Setelah fungsi hiburannya yang begitu penting dan fungsi seriusnya sebagai perantara nilai-nilai luhur tersemaikan di masyarakat, wayang juga menjadi lambang kehidupan mistis-sufistik Jawa dengan adanya tasawuf.

Dalam sebuah manuskrip yang penulis peroleh dari Perpustakaan Leiden tergambar sebuah tabel martabat tujuh, yang salah satunya dimaknai dengan tahapan “wewayang”. Yaitu suatu tahap di mana manusia adalah tubuh-tubuh yang digerakkan sang Pencipta.

Namun harus ditekankan sebagaimana “normalnya” sebuah proses akomodasi, terjadi banyak proses bongkar pasang ekspresi kebudayaan Islam Nusantara. Sebagian “percobaan” tersebut tidak berhasil mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat Islam dan digantikan dengan ekspresi lainnya. Misalnya adalah praktik “Syahadat Sekarat” yang telah mati dan digantikan dengan talqin mayit.

Contoh lainnya yang jauh lebih sedikit lagi dikenal oleh masyarakat adalah bahwa ajaran mistis Islam juga memberikan nafas pembaharuan pada seni keris. Pamor, lukisan pada bilah keris, pada foto sebuah halaman manuskrip berikut dilahirkan dari pemaknaan terhadap 2 tahapan dari tujuh tahapan pengejawantahan Wujud sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuḥfatul Mursalah ila an-Nabi karya Muḥammad bin Faḍlullah al-Hindi al-Burhanfuri (w. 1029 H/ 1619 M) yang dikaji luas di Nusantara.

Manuskrip tersebut tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan kode Or. 5619. Ini adalah halaman 156 dari manuskrip tersebut. Secara sederhana Jan Just Witkam menerangkan bahwa naskah ini mengandung catatan dalam bahasa Jawa dan Sunda dalam aksara Pegon, serta doa-doa dalam bahasa Arab.
Halaman ini mengandung sebuah contoh dari percobaan yang gagal dari proses akomodasi budaya lokal, keris Jawa, dalam ajaran tasawuf filosofis Ibnu Arabi. Dalam halaman tersebut terbaca:
“Pamor kang becik-becik sami metu saking sifat Ahadiah Wahdah. Tegese pamor “Palunetra” metu saking “ha”. Lakasanane anyukupi becike maring balane kabeh. Lan pamor alif metu saking lafaz bismillah. Laksanane rahayu selamet. Lamun ana pamor “sumur bodong” metu saking alam insan kamil laksanane dadhi pandita anging ora kena gagah …”
Terjemahan maknanya secara luwes adalah sebagai berikut:
“Ini adalah lukisan pada bilah keris (pamor) yang memiliki tujuan baik. Pamor-pamor ini diwujudkan dari sifat Ahadiah dan Wahdah. Yaitu pertama pamor “Palunetra” yang muncul dari huruf “ha”.

Tujuannya yaitu agar bisa memberikan kebaikan kepada seluruh pendukung setianya. Dan kedua pamor alif yang kuncul dari kalimat bismillah. Tujuannya yaitu agar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan. Adapun ketiga pamor “sumur bodong” yang muncul dari alam “insan kamil” (manusia universal). Tujuannya yaitu agar menjadi seorang Wali namun tidak boleh digunakan untuk kesombongan…”.

Dalam halaman ini terkandung tiga belas pamor, dua belas benar dan satu keliru, yaitu baris kedua di kolom kanan. Semuanya diambil dari dua tahapan pertama dari tahapan-tahapan martabat tujuh dalam tasawuf Ibnu Arabi, yaitu alam Ahadiah dan alam Wahdah. Secara lengkap kedua belas pamor itu adalah patula, alif elam, surya naga, surya naga giri, surya naga negari, surya kunta, wulan, sumur bodong, partulah, alif puju, batu lapaka, dan palunetra.

Bila dari dua tahapan saja terdapat dua belas rancangan pamor, maka secara spekulatif masih ada tiga puluh rancangan pamor lagi yang muncul dari lima tahapan lainnya.

Betapa pun mengesankannya usaha mempertalikan antara tasawuf Ibnu Arabi ini dengan keris, ia gagal dalam kenyataannya. Tidak ada lagi yang mengenal pamor yang lahir dari rahim tasawuf Islam ini.

Kembali ke kesimpulan Karel Steenbrink di muka, maka kita bisa memberikan beberapa kalimat pelengkap. Islam Nusantara adalah Islam yang mengakomodasi manifestasi budaya lokal yang telah melalui proses panjang penyaringan mana yang perlu diterima langsung, mana yang perlu diubah sebagian, dan mana yang perlu ditolak sama sekali. Atau dengan bahasa ideal Islam Nusantara mengakomodasi kebudayaan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip akidah Islam.

Dengan demikian Islam Nusantara merupakan kenyataan proses dialektika yang sangat kompleks dan lama yang diusahakan oleh para pemuka agama Islam di Nusantara, bukan?

Source: Alif.Id 

0 komentar:

Posting Komentar