Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Minggu, 26 Agustus 2018

Hamsad Rangkuti Telah Pergi, Meninggalkan Cerpen Hasil Lamunannya

Oleh: Irfan Teguh - 26 Agustus 2018


Hamsad Rangkuti. Instagram/@tbkomatitik

Selama bertahun-tahun Hamsad Rangkuti setia menulis cerita pendek yang ia gali dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari.
 “Saya pengelamun yang parah,” ujar Hamsad Rangkuti.
Pengarang kelahiran Titikuning, Sumatera Utara, 7 Mei 1943 itu kerap membiarkan pikirannya pergi ke mana ia suka. Dalam pengantar di salah satu buku kumpulan cerpennya, ia mengatakan cerpen-cerpennya seringkali hanya dipicu oleh hal-hal kecil seperti mendengarkan perkataan seseorang atau sekilas melihat sesuatu, lalu ia kembangkan dengan daya imajinasinya.

Cerpen pertamanya yang berjudul Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959) ia tulis ketika menyendiri di hutan rambung dekat kampungnya. Saat itu ia menyaksikan seorang buruh penyadap getah yang bekerja dari satu pohon ke pohon yang lain.
“Pada detik itulah terbayang olehnya latar keluarga di buruh berikut hidup yang mereka lalui. Tragedi dan peliknya hidup orang miskin itulah yang kemudian menjiwai karya-karya Hamsad, yang pada sisi lain menunjukkan keberpihakannya atas nasib orang-orang kecil,” tulis Ni Made Purnamasari dalam sebuah tulisan yang ia sampaikan pada diskusi di Biennale Sastra Salihara 2017.
Dalam sebuah resensi buku karya Hamsad Rangkuti yang berjudul Bibir dalam Pispot(2003), Yanusa Nugroho menulis dalam Tempo bahwa karya pengarang ini nikmat dibaca karena diangkat dari persoalan keseharian dan konon diilhami dari berita-berita di koran.
“Sebagaimana ciri khas cerpen sastra, selalu saja kisah yang disajikan Hamsad membuka horizon baru. Ada tema tentang kerinduan, keteduhan, kepolosan, kejujuran, dan berbagai percikan nafsu manusiawi yang tak bisa disingkirkan begitu saja. Cerpen Hamsad adalah sebuah cermin besar yang menangkap nadi kehidupan manusia yang bernama Indonesia,” tulisnya.
Dalam kondisi lain, melamun atau berpikir ketika menciptakan sebuah karya sempat membuatnya celaka. Kepada Harian Pos Kota ia sempat berkisah tentang kepalanya yang melepuh karena tersiram air panas. Malam hari saat ia pulang, istrinya memanaskan air untuk ia mandi. Karena pikirannya tidak fokus, air panas itu lupa ia campur dengan air dingin.
“Saat itu abang lagi mikirin bagian akhir dari cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala. Bayangkan rasanya!” katanya.
Pada Minggu, 26 Agustus 2018, Hamsad Rangkuti meninggal dunia setelah bertahun-tahun berjuang melawan berbagai penyakit yang menyerang dirinya. Pada laman Facebook-nya, Martin Aleida, salah seorang kawan Hamsad menulis:
“Kuantar kau dengan Al-Fatihah yang kau sebut sebagai ayat pamungkas untuk memulai cerita yang bohong tapi enak dan menggetarkan. Doa dan airmataku untuk perpisahan yang tak bisa dilerai ini. Banyaklah berkelakar di sana karena dia membahagiakan,” tulisnya.
Apa yang dimaksud oleh Martin Aleida dengan “cerita yang bohong tapi enak dan menggetarkan”? 

Masih dalam artikel yang sama, Ni Made Purnamasari menyebutkan bahwa kerja kepengarangan agaknya menggelisahkan batin Hamsad Rangkuti. Ia mencontohkan kondisi itu dengan sebuah cuplikan dari cerpen Antena yang Hamsad tulis pada tahun 2000. 
“Orang itu mengaku seorang pengarang yang selama hidupnya telah menciptakan kebohongan-kebohongan. Imajinasi adalah kebohongan untuk diri sendiri, katanya mengucapkan makna yang tak kumengerti. Begitu imajinasi dituturkan ataupun didengar atau dibaca orang lain, kita telah menciptakan kebohongan-kebohongan kepada orang lain,” tulisnya.
Lebih lanjut Hamsad menulis cerita pendek, novel, puisi, dan karangan fiksi lainnya adalah kebohongan yang nikmat yang dengan cerdik berlindung di balik kata imajinasi. Dan kebohongan itu dengan jelas ditujukan kepada dirinya karena pada kalimat berikutnya ia menulis:
“Padahal sesungguhnya tidak ada Sukri membawa pisau belati. Tidak ada wanita muda yang menanggalkan satu per satu pakaiannya dan berkata, ‘maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?’ Bohong semua itu,” tambahnya.
Sukri Membawa Pisau Belati dan Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? adalah sejumlah cerpen yang ditulisnya. Di titik ini, pernyataan Martin Aleida di laman media sosialnya kiranya bisa kita takar bahwa ia tengah melepas seorang kawannya yang pandai "berbohong" lewat cerita-cerita yang memikat dan menggetarkan.

Meski cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti bergaya realis, tapi menurut Ni Made Purnamasari, pengarang ini tetap meyakini bahwa hasil sastrawi adalah buah murni imajinasi yang membedakannya dengan karya jurnalisme dan potret deskripsi permukaan lainnya. 
“Pandangan ini sempat disikapi kritis oleh Taufik Ismail, bahwa salah satu tugas mengarang ialah justru meluruskan kebohongan-kebohongan, entah dengan laku maupun karyanya,” tulisnya.
Berbeda dengan pandangan Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti malah mempertanyakan ulang realita. Kenyataan dalam pandangan si pengelamun akut itu menurut Ni Made Purnamasari, barangkali tidak selalu berupa sesuatu yang kita temukan dan saksikan, lebih jauh kenyataan dapat disilangkan, dipadu-baurkan, atau bahkan ditiadakan dengan bentuk realitas baru yang dia bayangkan.
“Dia menggoda kita agar jadi penonton yang terpesona oleh peristiwa yang direkanya,” kata Sapardi Djoko Damono.

Bangkit dan Tumbang di Rumah

“Kemiskinan adalah bencana. Ia bukan sekadar persoalan memenuhi kebutuhan pangan, tetapi meniadakan harapan dan cita-cita manusia. Maka, amarah dan dendam kerap muncul ketika orang berjalan terbongkok-bongkok dan ringsek memikul beban kemiskinan,” tulis Maruli Tobing membuka artikelnya yang bertajuk “Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran” (Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007).
Dalam artikel tersebut Hamsad Rangkuti dikisahkan putus sekolah pada kelas I SMA di Tangjungbalai karena ketiadaan biaya. Ia akhirnya terpaksa menemani ayahnya yang bekerja sebagai penjaga malam dan pemikul air di Kisaran. Sementara ibunya berjualan buah-buahan pada malam hari.

Maruli Tobing menjelaskan bahwa ketika Hamsad Rangkuti lahir di zaman yang memang tengah bergolak karena perang kemerdekaan, tapi hal itu bukan faktor utama. Menurutnya, terkait atau tidak dengan perang, keluarga Hamsad rangkuti adalah rakyat kecil dalam arti sesungguhnya.
“[Mereka] tidak mempunyai rumah tempat berteduh, kecuali menumpang di rumah saudara secara berpindah-pindah,” tulisnya.
Kondisi “rumah” seperti ini kemudian secara tidak langsung mendorong Hamsad Rangkuti untuk memutuskan merantau ke Jakarta. Ia hendak bangkit dari keadaan yang rudin di “rumah”-nya. Perkenalannya dengan Jakarta mula-mula dialaminya saat ia bekerja sebagai pegawai negeri di Inspektorat Kehakiman Kodam II/Bukit Barisan dan dilibatkan dalam Kongres Karyawan Pengarang Indonesia pada 1964.
Infografik Hamsad Rangkuti


Saat pindah ke Jakarta, ia mula-mula ditampung oleh Zulharman, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dipekerjakan di Persatuan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Namun, karena di rumah Zulharman ia merasa tidak mengerjakan apa-apa, akhirnya Hamsad pindah ke Balai Budaya dan tiap malam tidur di atas ubin dengan hanya beralaskan selembar koran.

Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh pelukis Nashar yang bertahun-tahun tinggal di Balai Budaya.
“Pada waktu itu kreatif kepengarangannya mulai menyimpang. Di Balai Budaya ia merasa menjadi manusia liar bagaikan kuda lepas. Teman-temannya mengajak Hamsad mengenal kehidupan di gubuk-gubuk kere di sepanjang Kali Malang dan menyusuri rel di gubuk-gubuk pelacuran Planet Senen,” tulis Pamusuk Eneste dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (1984).
Warsa 1969 ia bergabung dengan majalah sastra Horison. Awalnya ia bekerja sebagai pencatat naskah, lalu menjadi korektor, dan mulai 1986 ia menjadi Pemimpin Redaksi dan baru 16 tahun kemudian posisinya digantikan orang lain.
“Tidak terbayangkan dahulu bahwa saya akan diterima bekerja di majalah sastra Horison,” ujarnya seperti dikutip Maruli Tobing.
Keputusannya untuk pindah ke Jakarta, meski pada mulanya morat-marit, tapi perlahan membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Ia beberapa kali mendapat penghargaan sastra atas karya-karyanya, salah satunya memenangkan Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot. Ia juga sempat melakukan perjalanan ke Inggris selama satu bulan yang disponsori oleh British Council dan mendapatkan uang sebanyak Rp70 juta.

Kehidupan Hamsad Rangkuti mulai berderak-derak saat Pemerintah Kota Depok membangun tempat pembuangan sampah sementara di dekat rumahnya pada 2009. Gunungan sampah tersebut menyebabkan rumah tempatnya memanen imajinasi menjadi kacau. Di rumahnya ia tumbang.
“Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi terasa hangat. Sampah yang menumpuk, belatung, kecoa, tikus, dan bau busuk menerbangkan bau hingga ke rumahnya. Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan keluarga tersebut dijangkiti penyakit,” tulis Liputan 6.
Hamsad Rangkuti pun kemudian terserang penyakit dan kondisinya dari tahun ke tahun semakin parah. Sementara biaya pengobatan kian mencekik. Di beberapa laman media sosial, kondisi kesehatan dan ekonomi Hamsad kerap dikabarkan oleh kawan-kawannya; mereka berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu biaya pengobatan sastrawan tersebut.

Setelah bertahun-tahun berjuang, ajal akhirnya tak dapat ditangguhkan lagi. Hari ini Minggu, (27/8) Hamsad Rangkuti pergi untuk selama-lamanya. 

Dalam cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?, ia menulis adegan tentang seorang perempuan yang hendak melompat ke laut dan berkata:
"Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikitpun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami”.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra

Hamsad Rangkuti meninggal dunia setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit komplikasi

Source: Tirto.Id 

Sabtu, 25 Agustus 2018

Kisah Sedih Maria Hagenaar, Istri Pablo Neruda yang Kelahiran Yogya

Oleh: Maria Inggrid N - 25 Agustus 2018

Pablo Neruda dan Maria Antonieta Hagenaar. FOTO/Istimewa

Rumah tangga Maria dan Pablo tak bahagia. Putrinya, Malva Marina, lahir dengan kondisi hidrosefalus dan meninggal di usia 8 tahun.

Pada 6 Desember 1930, Maria Antonieta Hagenaar, seorang pegawai bank berusia 30 tahun, menikah dengan seorang diplomat muda asal Chili bernama Ricardo Neftali Reyes di Batavia.

Ricardo Neftali Reyes—yang beken dengan nama Pablo Neruda—saat itu baru berusia 26 tahun tetapi sudah punya reputasi internasional sebagai penyair. Ia tersohor tapi hidup dalam kemiskinan sehingga memutuskan bekerja sebagai diplomat. Awalnya Neruda ditempatkan di Myanmar, lalu India, Sri Lanka, hingga akhirnya di Batavia, Hindia Belanda.

Maria Hagenaar lahir di Yogyakarta pada 5 Maret 1900. Tak banyak yang dapat diketahui tentang latar belakang keluarga Maria, kecuali bahwa ia tinggal di Batavia bersama ibunya. Ayahnya meninggal pada 1920, disusul kedua saudara laki-lakinya setahun kemudian.

Hagenaar berjumpa dengan Neruda di sebuah klub tenis di Batavia dan menikah beberapa lama setelahnya. Neruda tidak bisa bahasa Belanda dan “Maruca,” begitu Neruda memanggil istrinya, tidak bisa bahasa Spanyol. Keduanya berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dalam Pablo Neruda: Passion, Poetry, Politics, Jodie A. Shull menulis bahwa Neruda menggambarkan Maruca sebagai “seorang gadis yang tinggi, lembut dan tidak tahu apapun tentang seni dan sastra” (2009: 45).

Kabar pernikahan itu disampaikan oleh Neruda kepada keluarganya melalui sepucuk surat. “Mulai saat ini kalian tak perlu khawatir apabila putra kalian sendirian jauh dan seorang diri, karena ada seseorang yang mendampingiku ... Kami miskin namun bahagia,” tulis Neruda (2009: 45).

Awal 1932, Maria Hagenaar, yang kemudian dikenal sebagai Maruca Reyes, ikut Neruda pulang ke Chili karena tugas sang penyair di Asia telah berakhir. Namun, pasangan itu tak lama tinggal di Chili karena setahun setelahnya Neruda mendapat pekerjaan sebagai konsul di Buenos Aires, Argentina. Di Argentina pula ia bertemu dengan penyair Spanyol, Federico García Lorca, yang kelak jadi sahabatnya.

Di Argentina, meski secara keuangan kehidupan Maruca dan Neruda sedikit lebih baik dari pada kehidupan mereka sebelumnya, pernikahan mereka tidak berjalan baik. Maruca sama sekali tidak menyukai aktivitas dan gaya hidup bohemian ala Neruda, yang memang gemar menghabiskan malam dengan minum-minum dan bersenang-senang di bar dan kafe.

Pada akhir Mei 1934, Neruda dan Maruca yang sedang hamil pindah ke Spanyol karena sang suami mendapatkan pekerjaan di Barcelona. Setelah beberapa bulan tinggal di Barcelona, Neruda mengusahakan kepindahannya sebagai konsul ke Madrid karena banyak teman Neruda yang tinggal di Madrid, kota yang saat itu menjadi pusat aktivitas kebudayaan.

Tak Setia

Pada 18 Agustus 1934, sesaat setelah pindah ke Madrid, Maruca melahirkan seorang bayi perempuan prematur bernama lengkap Malva Marina Trinidad Reyes Hagenaar. Kelahiran Malva membawa kebahagiaan bagi Maruca, Neruda, dan kawan-kawan dekatnya. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Malva Marina terlahir dengan kondisi hidrosefalus; di otaknya menumpuk cairan.

Federico García Lorca pun menulis sebuah puisi untuk Malva Marina. Puisi yang baru ‘ditemukan’ oleh anggota keluarga Lorca lima puluh tahun sesudah kelahiran Malva Marina. Menurut Volodia Teitelboim dalam Neruda: An Intimate Biography, puisi itu seperti “doa bagi keselamatan tubuh dan jiwa” Malva yang baru lahir (1991:169).

Malva Marina, siapa yang bisa melihatmu
lumba-lumba cinta dari ombak-ombak kuno,
sementara irama waltz Amerikamu menyuling
racun dan darah dari merpati yang mematikan!

Gadis kecil dari Madrid, Malva Marina, 
aku takkan memberimu bunga atau keong;
memikirkanmu, kutempatkan pada bibirmu
sebatang rahmat dan cinta, nafas surga.
Neruda dan Maruca tidak pernah tahu Lorca pernah menulis puisi itu. Neruda sendiri tak pernah menulis puisi yang menyebut nama anaknya. Meski demikian, puisi “Enfermedades en Mi Casa” (“Penyakit-penyakit di Rumahku”) dan “Oda Con Un Lamento” (“Ode dengan Ratapan”) yang diterbitkan dalam kumpulan puisi Residencia en la Tierra (Tinggal di Bumi) pada 1935, menggambarkan kesedihan dalam kehidupan rumah tangganya dan menyinggung kondisi Malva yang sakit-sakitan.

Sepanjang hidupnya, Neruda banyak menulis puisi cinta yang terinspirasi oleh kekasih dan berbagai perempuan yang dijumpainya. Ironisnya, tak satu pun puisi cinta yang dipersembahkan Neruda untuk Maruca. Neruda hanya secara tersirat menyinggung Maruca dalam puisi “Maternidad” (“Keibuan”), yang juga diterbitkan dalam Residencia en la Tierra. Seperti dituliskan Matilde Sánchez dalam “The Tragic Story of Pablo Neruda’s Abandoned Daughter", Neruda “menyalahkan Maruca atas kondisi putri mereka”. Nama Maruca juga disebut secara sepintas lalu dalam puisi “Oda a Federico García Lorca” (“Ode untuk Federico García Lorca”) yang terbit pada 1935.

Neruda barangkali memang tak pernah mencintai Maruca. Dalam Neruda: An Intimate Biography, Teitelboim menulis bahwa “seluruh pernikahannya mungkin adalah kesalahan” (1991:171). Dalam salah satu bait puisinya yang berjudul “Itinerarios” (“Rencana Perjalanan”), Neruda seperti menyalahkan dirinya sendiri atas pernikahannya dengan Maruca.

Mengapa aku menikah di Batavia?
Aku seorang ksatria tanpa kastil
Seorang pengelana yang tidak siap
Seseorang tanpa pakaian atau emas
Seorang idiot yang murni dan bersalah.


Kelahiran Malva tidak memperbaiki kehidupan rumah tangga Maruca dan Neruda yang justru semakin berjarak. Neruda juga tak setia terhadap Maruca. Di Madrid, ia bertemu dan jatuh cinta dengan Delia del Carril, seorang pelukis, komunis, dan aktivis politik dari Argentina, yang usianya dua puluh tahun lebih tua dari Neruda. Gilanya lagi, Delia tinggal di dalam rumah Maruca dan Neruda sebagai sekretaris.

Pada Februari 1935, Maruca mengirim surat ke orangtua dan saudara perempuan Neruda di Chili. Surat yang menjelaskan keadaan Malva itu ditulis dalam bahasa Kastilia dan menunjukkan kemahiran berbahasa Maruca. Meski demikian, surat tersebut tidak menggambarkan kondisi sakit Malva. Maruca menulis,

“Malva sekarang berusia 5 setengah bulan dan sangat manis. Ia tumbuh dan tubuhnya terlalu gemuk. Ia lahir dengan tinggi 47 cm dan sekarang sudah 71 cm. Sangat menakutkan bagiku; aku merasa bersalah jika ia kelak setinggi aku. Ia anak perempuan yang sangat gembira, tak pernah menangis, dan selalu tersenyum. Semua orang menyayanginya, menganggapnya cantik dan cerdas. Beberapa hari yang lalu, ia mulai makan bubur seperti orang dewasa. Ia juga minum jus jeruk, tomat, anggur dengan gula, dan beberapa tetes minyak hati ikan. Ia mendapatkan perawatan UV untuk menguatkan tulang-tulangnya."

Pada 1936, Perang Sipil pecah di Spanyol. Penyair Federico García Lorca dibunuh dan keadaan menjadi sangat tidak aman bagi Maruca dan keluarganya. Mula-mula Neruda memboyong Maruca dan Malva ke Barcelona, lalu ke Perancis dengan kereta api. Pemerintah Chili menutup konsulatnya di Madrid dan berhenti menggaji Neruda.

Karena tidak ada pemasukan, pada 1937 Maruca memutuskan untuk meninggalkan Perancis dan membawa Malva ke tempat asal keluarganya di Den Haag, Belanda. Neruda tetap tinggal di Perancis dan berjanji untuk mengirimkan uang kepada Maruca setiap bulan. Namun, janji itu sangat jarang ia penuhi. Di Perancis, Neruda juga secara terbuka menjalin hubungan cinta dengan Delia del Carril.
Infografik Maria hagenaar

Hidup yang Sulit

Maruca menjalani kehidupan yang sulit di Belanda. Ia tak punya pemasukan, sementara Malva sakit-sakitan dan memerlukan perawatan khusus. Melalui asosiasi Gereja Kristus Ahli Ilmu Pengetahuan (Christenwetenschap), Maruca akhirnya menyerahkan Malva kepada pasangan suami-istri Hendrik Julsing dan Gerdina Sierks di Gouda yang bersedia mengasuh Malva sebagai anak angkat. Keluarga Julsing yang memiliki tiga anak mempekerjakan seorang pengasuh yang khusus bertugas untuk mengurus Malva. Gaji sang pengasuh dibayar oleh Maruca.

Tak lama setelah itu, Maruca bekerja di kedutaan Spanyol di Den Haag. Dengan segala keterbatasannya, ia rutin mengunjungi Malva setidaknya sebulan sekali. Berkali-kali Maruca menyurati Neruda, menuntut tanggung jawabnya sebagai ayah dan suami. Karena jarang mendapat respon, Maruca mulai memanggil Neruda dengan sebutan “My dear pig” (“Babiku sayang”). 

Pada 2 Maret 1943 Malva Marina meninggal dunia dalam usia 8 tahun dan dimakamkan di Gouda. Tak sepatah kata pun terkirim dari Neruda. “Neruda tidak menulis puisi untuk menandai kematian anaknya, meskipun kemudian ia menulis sebuah syair ratapan penuh perasaan untuk anjingnya,” tulis Dominic Moran dalam Pablo Neruda (2009: 60).

Maruca Reyes tak pernah tahu bahwa setahun sebelum kematian putri mereka, Pablo Neruda telah menceraikan dirinya. Pada 24 April 1942, Neruda, yang sejak Agustus 1940 bekerja sebagai konsul jenderal Chili di Mexico City, memasang pengumuman di sebuah surat kabar Mexico yang ditujukan kepada “Señora Maria Antonia Hagenaar”. Di kolom itu, ia mengajukan permohonan cerai dengan alasan “ketidakcocokan sifat.” Jika Maruca tidak merespons publikasi tersebut dalam waktu tiga hari, tulis Neruda, maka proses perceraian akan dimulai.

Maruca sama sekali tak tahu pengumuman tersebut. Pasalnya, ia tinggal jauh di Belanda yang sedang diduduki Jerman sejak 1940.

Pada Mei 1943 Maruca mengusahakan agar dirinya bisa pindah ke Chili. Kementerian Luar Negeri Chili memberi respon positif atas permohonannya. Sayang, Neruda menolak untuk memberikan persetujuan, bahkan mengancam untuk menghentikan sama sekali kiriman bulanannya.

Dikutip dari Pauline Slot dalam artikelnya “Deze Nederlandse Vrouw trouwde Pablo Neruda, en overleefde Westerbork” yang terbit di majalah HP/De Tijd, Maruca yang putus asa menulis kepada perwakilan Chili di Swiss: “Saya tidak bisa mengerti bagaimana Neruda, suami saya, bisa membuat keputusan yang mengerikan ini, dalam masa penuh kesengsaraan dan bahaya ini ketika orang seharusnya membantu sesamanya.”

Pada 1943 Neruda menikahi Delia del Carril. Tidak jelas apakah Maruca mengetahui pernikahan ini.

Pada 12 Maret 1945, Maruca ditangkap tentara Jerman dan ditahan di Kamp Westerbork, Belanda, yang juga disinggahi Anne Frank sebelum dideportasi ke kamp maut Auschwitz pada 1944. Maruca ditangkap sebagai “Austausch-Kandidat” (Kandidat-Pertukaran) untuk ditukar dengan tentara Jerman yang ditangkap. Sebagai istri seorang Chili, tulis Pauline Slot, Maruca adalah “orang asing di Belanda yang berkewarganegaraan Chili.” Maruca dibebaskan dari Kamp Westerbork pada 19 April 1945.

Dengan segala upaya, Maruca akhirnya berangkat ke Chili. Ia tiba pada Februari 1948 dan delapan bulan kemudian menyetujui perceraiannya dengan Neruda. Ia tinggal selama beberapa tahun di Chili sebelum akhirnya kembali ke Den Haag pada 1959.

Pada 27 Maret 1965 di Den Haag, Maruca Reyes menghembuskan nafas terakhir.

Pada 2010 kisah hidup Maruca Reyes diangkat ke dalam sebuah novel berbahasa Belanda oleh Pauline Slot yang terbit dengan judul En het vergeten zo lang (Dan melupakannya begitu lama). Enam tahun berselang, Hagar Peeters mengangkat kisah Malva Marina dalam novel berbahasa Belanda bertajuk Malva. Kedua penulis perempuan tersebut bermaksud “memberi suara” kepada Maruca dan Malva dan menghadirkan kembali dua tokoh yang keberadaannya seringkali terpinggirkan dalam berbagai biografi Pablo Neruda.

Penulis: Maria Inggrid N
Editor: Windu Jusuf

Maria sempat ditahan di Kamp Westerbork yang dulu pernah disinggahi Anne Frank sebelum dikirim ke Auschwitz.

Source: Tirto.Id 

Senin, 06 Agustus 2018

6 Agustus 2009 | Sang Burung Merak yang Mengancam Tirani

Oleh: Irfan Teguh - 6 Agustus 2018

Ilustrasi Mozaik WS Rendra. tirto.id/Sabit

Tenaga kata.
Sajak membara dalam
peluk wibawa
.

“Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka”

Bait tersebut merupakan pembuka dari "Sajak Sebatang Lisong" yang Rendra bacakan di Institut Teknologi Bandung pada 1977, dan merupakan salah satu adegan dalam film Yang Muda Yang Bercinta karya sutradara Sjumandjaja. Film tersebut sempat dilarang tayang karena di dalamnya terdapat beberapa puisi Rendra yang liriknya mengkritik penguasa, seperti "Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" dan "Sajak Pertemuan Mahasiswa".

Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003) mencatat bahwa sensor yang dilakukan Orde Baru terhadap berbagai ekspresi kesenian semakin kencang pada akhir 1970-an. Film Indonesia disensor ketat dan dilarang. Sebagian direvisi, disesuaikan dengan kehendak rezim. Di masa itu, Rendra tampil penuh bara.
“Seorang penyair yang tangguh dalam teknik oral dan sangat peka kepada pengaruh bunyi, Rendra menyiram kampus demi kampus dengan pembacaan sajak-sajak perlawanannya yang penuh gelora,” tulis Syu’bah Asa dalam Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009).
Setahun pasca pelarangan film yang memuat adegan Rendra membacakan sajak, dia tak kapok dan tampil lagi di Jakarta meski teror terus mengintai keselamatannya. Beberapa hari sebelum membacakan sajak-sajak bertema pembangunan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 28 April 1978, sepucuk surat anonim diterima Rendra, isinya mengancam ia dan keluarganya. Pada saat pementasan, bom amoniak dilemparkan, mengakibatkan tiga orang penonton pingsan. Tiga hari setelah penyerangan, Rendra ditahan aparat keamanan.

Kodam Jaya menyatakan bahwa penangkapan Rendra adalah upaya “mengamankan” penyair itu dari ancaman pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Sementara menurut Laksamana Sudomo, Wakil Pangkopkamtib, penahanan tersebut dilakukan karena puisi-puisi Rendra dianggap menghasut.

Ajip Rosidi mencatat dalam Hidup Tanpa Ijazah (2008) bahwa Rendra pada mulanya dilarang tampil di TIM. Di mata penguasa, khususnya militer, ia telah kesohor sebagai penggulir isu-isu kontroversial yang mereka anggap bisa bikin keamanan rentan. Waktu itu Bengkel Teater pimpinan Rendra masih bermarkas di Yogyakarta. Rendra kena cekal, tak boleh tampil di luar Yogyakarta. Padahal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) telah memasukkan namanya ke dalam kalender bulanan untuk tampil di TIM.

DKJ kemudian menyampaikan situasi itu kepada mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang langsung menghubungi Kolonel Leo Ngali sebagai Asisten I/Intel Kodam Diponegoro. Atas dukungan Ali Sadikin, Rendra akhirnya bisa tampil di TIM meskipun acaranya diserang bom amoniak.
“Akibat kejadian tersebut Rendra ditahan Laksusda Jaya pada 1 Mei 1978 dan baru bebas pada 7 Oktober 1978 setelah diprotes oleh banyak kalangan termasuk dunia internasional,” tulis Stanley YAP dalam artikel “Intelejen, Sensor dan Negeri Kepatuhan” yang terhimpun dalam Negara, Intel, dan Ketakutan (2006).
Saat Rendra akhirnya ditahan oleh aparat keamanan, Dewan Pengurus Harian DKJ yang diwakili oleh Asrul Sani, Iravati Sudiarso, Ajip Rosidi, Alam Suriawidjaja, dan Ramadhan K.H., mendatangi Gubernur Jakarta Tjokropranolo atas saran Ali Sadikin.

Asrul Sani mengungkapkan sejumlah prestasi Rendra sebagai seniman yang tidak hanya diakui secara nasional, tapi juga internasional. Kepada Gubernur, Asrul Sani meminta masalah Rendra diselesaikan dari hati ke hati, karena menurutnya Rendra tidak akan melakukan pemberontakan.
Namun Tjokropranolo lantas bertanya, “Apa jasa Rendra terhadap bangsa? Di mana dia waktu revolusi?”
Setelah dijelaskan oleh Asrul Sani bahwa saat revolusi terjadi Rendra masih kanak-kanak dan jasa seseorang tidak bisa dinilai sekadar dari perbuatannya saat revolusi berkobar, Tjokropranolo langsung naik pitam.
“’Ya, saudara-saudara sebagai seniman, pandai mengkritik. Saya bukan seniman, saya tidak pandai mengkritik. Tetapi saya tentara, saya punya bedil […],’ kata Gubernur sambil memperlihatkan sepir pangkal lengannya yang kanan,” tulis Ajip.

Ketakutan Melahirkan Keberanian

Penyair termasuk Rendra, menurut Ignas Kleden dalam “Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat” yang dihimpun dalam buku Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009) menatap dirinya dalam beberapa dimensi: saat berhadapan dengan alam, masyarakat, dan dirinya sendiri.
“Dia melihat dirinya berhadapan dengan masyarakatnya dengan segala ketegangan dalam hubungan itu: kemerdekaan dan penindasan, keadilan dan eksploitasi, kejujuran dan pengkhianatan, kebaikan dan kejahatan,” tulisnya menerangkan poin yang kedua.
Bagi Rendra, lanjut Kleden, keindahan yang dibangun oleh penyair bukan sesuatu yang bisa membenarkan ia lari dari politik. Kritik lewat lirik sajak bukan barang haram bagi penyair. Menghadapi masyarakat yang keadaannya jauh dari ideal, penyair dapat dan terkadang wajib melibatkan dirinya dalam perjuangan untuk memperbaiki keadaan tersebut.

Dalam puisi "Sajak Sebatang Lisong", Rendra tegas menyindir para penyair yang abai terhadap kehidupan di sekitarnya dan hanya masyuk dengan hal-hal yang jauh dari persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat: “penyair salon” begitu ia menyebutnya.

“Aku bertanya / tetapi pertanyaanku membentur jidat / penyair-penyair salon / yang bersajak tentang anggur dan rembulan / sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya / Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan / termangu-mangu di kaki dewi kesenian” 

Menyaksikan masyarakat yang tak berdaya dan maras karena dibekap penguasa lewat alat-alat negara, Rendra semakin menggedor-gedor nyali rezim yang menciut oleh peluru kata-katanya. 

Meski sajak-sajaknya garang mengobrak-abrik situasi politik yang stagnan, tapi menurut Ignas Kleden ia tak sama dengan para seniman Lekra yang menjadikan politik sebagai panglima. Bagi Rendra, tulis Kleden, politik adalah tugas dan bukan sesuatu yang tak terjangkau oleh seni.
Infografik Mozaik WS Rendra

Persoalan yang disuarakan Rendra dalam menghadapi masyarakat bukan hanya menyerang penguasa secara langsung, ia juga mengkritisi keadaaan masyarakat yang bobrok akibat kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam "Sajak Seonggok Jagung" misalnya, ia berbicara tentang seorang siswa sekolah menengah yang tak berdaya menghadapi kehidupan. Ilmu pengetahuan yang ia terima di sekolah hanya membuatnya terasing dan tercerabut dari persoalan-persoalan nyata dalam keseharian.

“Seonggok jagung di kamar / tidak menyangkut pada akal / tidak akan menolongnya / Seonggok jagung di kamar / tak akan menolong seorang pemuda / yang pandangan hidupnya berasal dari buku / dan tidak dari kehidupan / yang tidak terlatih dalam metode / dan hanya penuh hafalan kesimpulan / yang hanya terlatih sebagai pemakai / tetapi kurang latihan bebas berkarya / Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupannya”

Bakdi Soemanto dalam artikel “Si Burung Merak” dalam Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009) menyebut bahwa analisis Rendra terhadap keadaan masyarakat menguar dalam sajak-sajak yang yang dipenuhi keprihatinan, kekesalan, dan kadang putus asa, tetapi tetap mengobarkan semangat daya hidup. 

Kepada Anton Lake, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada yang mewawancarainya saat menyusun skripsi, seperti dikutip Bakdi, penyair itu berkata bahwa dirinya tak henti mempertanyakan gejala-gejala yang ada di sekitarnya untuk direnungkan dan dipertanyakan kembali. Berulang-ulang dan seterusnya.
“Seniman bukanlah penghibur yang tidak perlu penghayatan, Rendra menegaskan sikapnya dalam berkesenian bahwa dalam setiap karyanya dicipta melalui relevansi sosial yang merupakan kodrat seorang seniman,” tulis Fridiyanto dalam Kaum Intelektual dalam Catatan Kaki Kekuasaan (2017)
Sejumlah pertanyaan hasil dari renungan yang ia dapat dari kehidupan masyarakat, lalu ia sampaikan kembali ke masyarakat lewat teater dan pembacaaan sajaknya berhasil menohok publik. Ya, karena memang kata-katanya berjejak dari sana, dari kehidupan yang dihadapinya. 

Keberhasilan Rendra membuat masyarakat merasa selalu terkait dengan karya-karyanya tentang situasi sosial dan kelaliman penguasa, dalam pandangan Syu’bah Asa:
“seakan-akan berhasil menggalang seluruh bangsa menghadapi kekuatan-kekuatan yang dinilai sebagai musuh nurani bangsa itu sendiri.”

Meski api keberanian yang menyala-nyala dalam diri penyair ini dikagumi banyak orang, tapi ternyata itu bukan lantaran dirinya bernyali. Seperti dikutip Edi Haryono dalam Doa untuk Anak Cucu (2016), Rendra mengungkapkan kepada seorang wartawan bahwa sikapnya yang kritis kepada pemerintah sejatinya didorong rasa takut.
“Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan,” ujarnya.
Dalam riwayat kepenyairannya, Rendra memang tak hanya menulis sajak-sajak pamflet, ia juga banyak menulis tentang cinta. Namun kiranya sepak terjang ia dalam melawan penguasa dan menyurakan penderitaan rakyat adalah sesuatu yang terpacak paling kuat di benak masyarakat. Apa yang diwariskan oleh Sang Burung Merak ini tetap bertahan hingga sekarang, mesi Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009, tepat hari ini 9 tahun yang lalu. 
“Rendra sudah menginfakkan sebagian umurnya—dengan karya-karyanya—untuk berjuang melawan penindasan, menjadikan teater dan sajaknya sebagai senjata di kuping despot dan kepalan tinju di hidung para badut politik. Menyiram semangat dan menyertai para mahasiswa di kampus-kampus, serta menjadikan teater dan puisi begitu terkenal sampai ke tingkat yang rasanya belum pernah ada presedennya dalam sejarah,” ujar Syu’bah Asa seperti dikutip Bambang Sulistiyo.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono

Sajak-sajak pamflet Rendra sempat menjadi ancaman bagi penguasa

Source: Tirto.Id 

Jumat, 03 Agustus 2018

Tasawuf Ibnu Arabi dalam Keris Jawa


Penulis: Nur Ahmad Jumat, 03 Agustus 2018


Pada suatu konferensi Internasional di Belanda, Karel Steenbrink, profesor di Universitas Utrecht, menutup acara tersebut dengan sebuah kesimpulan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang mengakomodasi ekspresi kebudayaan lokal. Pernyataan ini tidak keliru.

Kenyataannya Islam yang tumbuh di Nusantara menjadikan tradisi daerah sebagai wahana untuk menyampaikan ajaran agama. Namun apakah semua ekspresi kebudayaan lokal itu diterima begitu saja oleh Islam? Nah disini lah terdapat kekurangcermatan kesimpulan di atas.

Terdapat dialektika yang begitu intens antara para pendukung legal-formal Islam (fikih) dengan para pendukung mistisisme Islam (tasawuf), misalnya, pada sepanjang sejarah Islam di Nusantara menyangkut aspek-aspek mana yang bisa diterima langsung, perlu diubah sebagian, atau ditolak sama sekali.

Contoh cukup klasik dalam hal ini adalah antara Syekh Siti Jenar dengan para wali lainnya. Juga bisa diambil sebagai contoh adalah perdebatan antara Syekh Cebolek dengan para ulama yang mewakili keraton.
Juga bisa ditanyakan bagaimanakah proses akomodasi itu dilakukan? Apakah akomodasi itu muncul sebagai gejala tunggal yang tidak mendapat tantangan apapun?

Perlu penelitian-penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan tuntas mengenai hal ini. Namun sejauh bukti yang dapat diperoleh menyatakan bahwa terjadi hubungan tarik menarik yang sangat intens antara unsur-unsur pra-Islam dan pasca-Islam, termasuk di dalamnya antara Ahlussunnah dan Syiah, untuk memperebutkan eksistensinya dalam Islam di Nusantara. 
Hal ini bisa dicontohkan dengan perubahan dari tasawuf al-Ghazali yang muncul di masa awal perkembangan Islam di Jawa, sebagaimana diabadikan dala ajaran tasawuf Sunan Bonang seperti dalam penelitian Drewes di The Admonition of Seh Bari, menuju ke tasawuf Ibnu Arabi yang mendominasi Jawa hingga abad ke-19 paling tidak seperti terwujud dalam sastra serat dan suluk Jawa.

Namun akhirnya tasawuf al-Ghazali kembali merebut tempatnya dengan tokoh-tokoh yang mendukungnya seperti Kiai Shaleh Darat, Semarang.
Kita juga dapat menanyakan, apa yang dihasilkan dari proses akomodasi tersebut ? Dalam kalimat yang lebih spesifik, apa yang dihasilkan dari masuknya tasawuf (Islam) ke kebudayaan Jawa (Nusantara)?

Salah satu jawabannya adalah tasawuf menjadikannya ladang kreatif ekspresi kesenian Islam. Misalnya, dalam hal pemaknaan wayang. Setelah fungsi hiburannya yang begitu penting dan fungsi seriusnya sebagai perantara nilai-nilai luhur tersemaikan di masyarakat, wayang juga menjadi lambang kehidupan mistis-sufistik Jawa dengan adanya tasawuf.

Dalam sebuah manuskrip yang penulis peroleh dari Perpustakaan Leiden tergambar sebuah tabel martabat tujuh, yang salah satunya dimaknai dengan tahapan “wewayang”. Yaitu suatu tahap di mana manusia adalah tubuh-tubuh yang digerakkan sang Pencipta.

Namun harus ditekankan sebagaimana “normalnya” sebuah proses akomodasi, terjadi banyak proses bongkar pasang ekspresi kebudayaan Islam Nusantara. Sebagian “percobaan” tersebut tidak berhasil mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat Islam dan digantikan dengan ekspresi lainnya. Misalnya adalah praktik “Syahadat Sekarat” yang telah mati dan digantikan dengan talqin mayit.

Contoh lainnya yang jauh lebih sedikit lagi dikenal oleh masyarakat adalah bahwa ajaran mistis Islam juga memberikan nafas pembaharuan pada seni keris. Pamor, lukisan pada bilah keris, pada foto sebuah halaman manuskrip berikut dilahirkan dari pemaknaan terhadap 2 tahapan dari tujuh tahapan pengejawantahan Wujud sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuḥfatul Mursalah ila an-Nabi karya Muḥammad bin Faḍlullah al-Hindi al-Burhanfuri (w. 1029 H/ 1619 M) yang dikaji luas di Nusantara.

Manuskrip tersebut tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan kode Or. 5619. Ini adalah halaman 156 dari manuskrip tersebut. Secara sederhana Jan Just Witkam menerangkan bahwa naskah ini mengandung catatan dalam bahasa Jawa dan Sunda dalam aksara Pegon, serta doa-doa dalam bahasa Arab.
Halaman ini mengandung sebuah contoh dari percobaan yang gagal dari proses akomodasi budaya lokal, keris Jawa, dalam ajaran tasawuf filosofis Ibnu Arabi. Dalam halaman tersebut terbaca:
“Pamor kang becik-becik sami metu saking sifat Ahadiah Wahdah. Tegese pamor “Palunetra” metu saking “ha”. Lakasanane anyukupi becike maring balane kabeh. Lan pamor alif metu saking lafaz bismillah. Laksanane rahayu selamet. Lamun ana pamor “sumur bodong” metu saking alam insan kamil laksanane dadhi pandita anging ora kena gagah …”
Terjemahan maknanya secara luwes adalah sebagai berikut:
“Ini adalah lukisan pada bilah keris (pamor) yang memiliki tujuan baik. Pamor-pamor ini diwujudkan dari sifat Ahadiah dan Wahdah. Yaitu pertama pamor “Palunetra” yang muncul dari huruf “ha”.

Tujuannya yaitu agar bisa memberikan kebaikan kepada seluruh pendukung setianya. Dan kedua pamor alif yang kuncul dari kalimat bismillah. Tujuannya yaitu agar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan. Adapun ketiga pamor “sumur bodong” yang muncul dari alam “insan kamil” (manusia universal). Tujuannya yaitu agar menjadi seorang Wali namun tidak boleh digunakan untuk kesombongan…”.

Dalam halaman ini terkandung tiga belas pamor, dua belas benar dan satu keliru, yaitu baris kedua di kolom kanan. Semuanya diambil dari dua tahapan pertama dari tahapan-tahapan martabat tujuh dalam tasawuf Ibnu Arabi, yaitu alam Ahadiah dan alam Wahdah. Secara lengkap kedua belas pamor itu adalah patula, alif elam, surya naga, surya naga giri, surya naga negari, surya kunta, wulan, sumur bodong, partulah, alif puju, batu lapaka, dan palunetra.

Bila dari dua tahapan saja terdapat dua belas rancangan pamor, maka secara spekulatif masih ada tiga puluh rancangan pamor lagi yang muncul dari lima tahapan lainnya.

Betapa pun mengesankannya usaha mempertalikan antara tasawuf Ibnu Arabi ini dengan keris, ia gagal dalam kenyataannya. Tidak ada lagi yang mengenal pamor yang lahir dari rahim tasawuf Islam ini.

Kembali ke kesimpulan Karel Steenbrink di muka, maka kita bisa memberikan beberapa kalimat pelengkap. Islam Nusantara adalah Islam yang mengakomodasi manifestasi budaya lokal yang telah melalui proses panjang penyaringan mana yang perlu diterima langsung, mana yang perlu diubah sebagian, dan mana yang perlu ditolak sama sekali. Atau dengan bahasa ideal Islam Nusantara mengakomodasi kebudayaan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip akidah Islam.

Dengan demikian Islam Nusantara merupakan kenyataan proses dialektika yang sangat kompleks dan lama yang diusahakan oleh para pemuka agama Islam di Nusantara, bukan?

Source: Alif.Id