Minggu, 15 Januari 2017

Dariah, Legenda hidup Lengger Lanang Banyumasan

Oleh: Uwin Chandra


Sampur berwarna merah yang terlipat rapi dalam kantung plastik putih perlahan dibentangkan. Genggaman tangan kulit berkeriput itu sigap memutarkan sampur dari bahu kiri hingga kanan. Tanpa alunan calung dan tembang, ia menari sambil sesekali menganggukan kepala dan melebarkan lengannya menunjukan lentik jemari.

Meski usianya tak lagi muda, goyangan pinggul dan langkah kakinya masih menunjukkan sisa kemahirannya menari lengger saat masa jayanya diantara pertengahan Tahun 1940-an sampai 1965-an. Dariah, begitu namanya dikenal penduduk Desa Plana dan Somakaton yang bertetanggan di Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas.

Kesan pertama, mungkin tak ada yang mengira jika Dariah merupakan sosok laki-laki. Sewaktu lahir, sekitar Tahun 1928, Dariyah diberikan nama oleh orang tuanya, Sadam. Namun perjalanannya sebagai sosok laki-laki berubah selepas akil balik. Dariah yang hobi menari dan menyanyikan tembang Jawa semasa kecil merasakan pergolakan batin yang kuat dalam dirinya.

Dariah, bagi masyarakat seni di Banyumas dan sekitarnya bukanlah nama asing. Dia dikenal sebagai lengger lanang yang mengalami tiga generasi penanda era perubahan dalam negara Indonesia. Dalam ingatannya, Dariah mulai menjadi lengger sejak zaman Jepang masuk ke Indonesia.

"Pas zaman Jepang ya wis ngelengger," ucapnya dalam bahasa banyumasan yang dipakainya dalam berkomunikasi sehari-hari.

Kemolekan dan kecantikan Dariah pun dikenal dari kalangan pejabat hingga rakyat jelata. Banyak pejabat yang tergila-gila ketika Dariah mentas. Pesonanya yang luar biasa, pun terbawa hingga kehidupan sehari-harinya. "Zaman gemiyen ya ben wengi akeh sing nginep nang omahku," tutur Dariah yang masih berusaha keras mengingat kejayaan masa silamnya.

Pengalamannya menjadi lengger, bukanlah sembarang laku seperti yang dilakukan lengger pada umumnya. Pengamat seni banyumasan, Yusmanto, mengemukakan, Lengger Dariah sangat berbeda dari lengger lainnya.

Ia menjelaskan, sebelum menjadi lengger banyak orang melakukan ritual untuk menambah pamor dan auranya. "Tetapi Dariah tidak, ia menjadi lengger sudah seperti laku hidup," ujarnya.

Kisah Dariah dimulai dari rumahnya yang kedatangan pengembara, saat itu ia tinggal bersama kakek. Saat itu, kakeknya diberitahu, Dariah yang bernama asli Sadam, memiliki indang lengger. Gelisah tak menentu, membuat Dariah yang menginjak remaja pergi berjalan. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, hingga pada suatu hari ia berada di petilasan Panembahan Ronggeng yang berada di Kecamatan Sumbang Banyumas.

"Pas kae arep bali meng omah, aku tuku gelung karo kain nang Purwakerta. Nang omah, aku cerita arep dadi lengger. (Waktu itu dalam perjalanan kembali ke rumah, saya beli sanggul dan kain di Purwokerto. Setiba di rumah, saya cerita kalau saya ingin jadi lengger)," ujar Dariah yang menyukai inang di masa senjanya.




Tawaran manggung perlahan mengalir dari berbagai daerah. Ia mengaku memasang tarif yang cukup tinggi saat itu. Dengan pasang harga yang cukup tinggi, ia makin bersinar di masyarakat. Kala itu, tidak banyak yang mencibir karena memiliki lengger lanang dalam kepercayaan masyarakat agraris di Banyumas perlambang kemakmuran.

"Kalau pun ada yang iri mungkin hanya saingannya dari lengger lainnya yang perempuan. Bahkan, saking banyaknya lelaki yang tergila-gila membuat Dariah dicemburui para istri," kata Atmo Sumitro, pegiat seni calung banyumasan di Desa Plana yang berdekatan dengan Desa Somakaton.

Atmo mengingat kejayaan Dariah dimulai sekitar pertengahan tahun 1950-an. Saat ia masih anak-anak. "Saya tahu persis Dariah, karena dia dulu tinggal bersama dengan keluarga bapak di rumah. Setiap hari, dia selalu berdandan seperti perempuan tetapi kami tidak merasa risih," katanya dalam bahasa Indonesia bercengkok ngapak.

Meski banyak bermunculan lengger-lengger perempuan yang berasal dari tetangga desa, Dariah kala itu menjadi primadona kesenian Lengger Banyumasan. "Persaingan antara penari lengger perempuan dengan Dariah tidak begitu nampak. Tetapi sepertinya memang ada, namun 'perseteruan' secara batin," jelas Atmo sembari menghisap rokok kreteknya. 

Bahkan pesona Dariah mampu membangkitkan hasrat kaum laki-laki yang melihatnya. Pemuda yang tergila-gila kepadanya pun berasal dai berbagai kalangan, orang berduit, pejabat desa hingga warga biasa.

"Dulu banyak sekali laki-laki yang menginap di rumahnya, bahkan sampai dibuat jadwal menginap. Soalnya zaman itu saya akui, Dariah sangat cantik. Bahkan banyak laki-laki yang menghabiskan hartanya hanya untuk sekedar bersama Dariah," kata Atmo.

Bukti kecantikan Dariah hingga kini pun masih nampak jelas dari garis muka yang masih menunjukan auranya. Bagi Dariah, kedatangan laki-laki untuk menginap di rumahnya diladeninya dengan baik. "Kalau menginap, biasanya kami tidur tidak dalam satu kamar dan mereka tahu kalau saya juga laki-laki," kata Dariah yang gemar menginang sirih.



Kenyataan itu diakui pula oleh Mukyani (80), penggemar berat Dariah yang ditemui beberapa waktu silam di rumahnya yang berada di Desa Somakaton. Mukyani mengaku sangat tergila-gila dengan Dariah saat mentas dipanggung. Diakuinya, ia pernah menginap setiap malam di rumah Dariah.

"Dariah kuwe maen temen. Apa baen sing dipengeni Dariah tak turuti ben iso turu nang omahe (Dariah itu sangat menarik. Apa saja yang Dariah inginkan, akan saya turuti supaya bisa bersama Dariah)," kata Mukyani yang mengaku pernah menjual sapi hanya untuk menuruti permintaan Dariah, yang ditemui beberapa waktu silam di rumahnya.

Bahkan, Mukyani mengaku hingga hari ini tidak bisa menyembunyikan kekagumannya kepada Dariah. Namun, masa kejayaan Dariah berangsur menurun saat meletusnya peristiwa 1965. Saat itu, banyak kesenian tradisional yang tiarap karena kecurigaan militer terhadap bentuk kesenian rakyat yang dicurigai menjadi bagian penyebaran paham komunisme.

Perlahan dan pasti, nama Dariah mulai surut dalam seni lengger. Ia kemudian beralih mengikuti kesenian tradisional lainnya seperti ketoprak. Tetapi, itu tidak bisa bertahan lama. Akhirnya, ia menjalani pekerjaan menjadi dukun manten hingga masa tuanya.

Pengabdian Dariah menjadi pelestari lengger, mengantarnya mendapatkan penghargaan Maestro Kesenian Tradisional untuk seni lengger Tahun 2011 dari Jero Wacik yang saat itu menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Persepsi masyarakat Banyumas selama ini kerap menyambut Lengger Lanang sebagai hiburan tradisional yang menarik tanpa tendensi apa pun. Tak ada prasangka atau pandangan negatif yang membuat penari Lengger Lanang menjadi stereotype dalam lingkungan masyarakatnya.




Seni Populer

 
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari mengatakan lengger pada dasarnya adalah seni populer yang telah lama hidup dalam masyarakat agraris di Banyumas. Budaya Banyumas sebenarnya berorientasi pada kesenian rakyat yang rancak dan sederhana karena termasuk dalam perangkat kebudayaan massa yang berbeda dengan kesenian keraton.

Sebagai hiburan, lengger memang disenangi banyak penduduk. Selain hiburan, lengger juga menjadi bagian dalam ritual masyarakat agraris. "Lengger menjadi media ritual yang melambangkan dewi kesuburan dalam budaya masyarakat agraris," jelasnya saat ditemui beberapa waktu lalu.

Ahmad Tohari menceritakan, zaman dahulu setiap desa di Banyumas memiliki Lengger Lanang yang menjadi simbol kesuburan. "Di desa saya (Tinggarjaya Kecamatan Jatilawang Banyumas) juga ada Lengger Lanang. Bahkan, kondisi ini terrekam dalam buku 'History of Java'," ujarnya.

Dalam "History Of Java", Sir Thomas Raffles menyebutkan berbagai kesenian yang tersebar di Pulau Jawa. Lengger menjadi salah satu kesenian yang menurut Raffles tak jauh berbeda dengan Ronggeng, Tayub dan beberapa jenis kesenian rakyat lainnya.

Meski begitu, Ahmad Tohari menarik garis tegas perbedaan antara lengger yang diperankan laki-laki dan ronggeng yang diperankan perempuan. Penegasan tersebut juga dikemukakan Atmo Sumitro yang mengisyaratkan lengger sebagai dua paduan kata dari bahasa banyumasan.

"Lengger itu berasal dari kata 'leng' yang berarti lubang dan 'jengger' yang berarti mahkota pada ayam jago," ungkapnya.


 
Penerimaan yang apik dari masyarakat Banyumas membuat kesenian ini mampu menembus batas gender dalam tatanan masyarakat pada umumnya. Seniman tari, Didi Nini Thowok mengungkapkan lengger lanang merupakan salah satu kesenian yang bernilai tinggi, jika dipandang dalam kajian seni di dunia.

"Seni tradisi 'cross gender' yang sering saya lakukan itu sebenarnya seni yang sangat serius. Sewaktu saya mempunyai kesempatan belajar di Jepang, banyak seniman negara lain seperti Cina dan India, heran melihat penampilan saya membawakan seni 'cross gender' dibawakan komedi," ujarnya di Padepokan Payung Agung Desa Banjarsari Nusawungu Cilacap, beberapa waktu silam.

Setelah dijelaskan Didi, seniman dari beberapa negara tersebut memahami akar tradisi kebudayaan Indonesia. Seni tradisi "cross gender" di Indonesia sebenarnya tradisi yang sudah lama mengakar sekitar abad 18.

"Dalam Serat Centini, banyak dibahas seni seperti ini (cross gender) dalam kesenian keratin yang memeluk Islam, sehingga tak heran jika saat itu peran-peran sebagai perempuan dalam kesenian dimainkan laki-laki," ujarnya.

Peran tersebut dilakukan untuk mengikuti aturan yang melarang adanya sentuhan selain muhrimnya. Bahkan, perempuan dalam kesenian saat itu dianggap tabu. "Namun generasi ini terputus sekitar abad 20. Jadi kesenian 'cross gender' seperti lengger merupakan sejarah dan ini tertulis, tidak asal-asalan," paparnya.



Penerus Lengger

Lebih jauh, Didi berharap penerus lengger lanang saat ini bisa serius dalam memperdalam kesenian tradisional tersebut. Salah satu penari lengger lanang asal Kelurahan Sumampir Purwokerto, Rudi Lukmanto mengaku keinginan menari lengger sudah dimulai sejak kecil, saat sering melihat pertunjukan lengger.

"Akhirnya niat itu baru terlaksana beberapa tahun lalu. Sekarang saya menggantungkan hidup melalui lengger," papar pria yang aktif dalam Sanggar Kesenian Lengger Gita Budaya Desa Bantarwuni Kecamatan Kembaran Banyumas.

Bagi Rudi, menari lengger bukan hanya sekedar lenggak-lenggok dan tebar pesona diatas panggung. Tetapi menari lengger merupakan ungkapan jiwa dan perasaan. "Kalau dibilang, saya memang menari dari hati, sama seperti yang dilakukan Mbok Dariah," ujar bapak satu anak ini.

Warna-warni panggung lengger yang dialami Rudi tak jauh berbeda dengan pengalaman Dariah, godaan dari kaum adam dan hawa pun sering diterimanya.


"Memang banyak penonton laki-laki dan perempuan yang terpesona, tetapi mereka juga tahu kalau saya laki-laki, jadinya tidak masalah. Bahkan, masyarakat Banyumas sampai kini masih menerima kami dengan baik," kata Rudi.


Keberadaan Dariah, sebagai sesepuh kesenian lengger di Eks-Karesidenan Banyumas, menjadi inspirasi bagi Rudi. "Saya belajar banyak dari Mbok Dariah dan saya sudah menganggapnya sebagai guru," katanya.

Dariah juga menginspirasi penari lengger perempuan di Eks Karesidenan Banyumas. Pelatih tari Sanggar Sekar Santi, Sri Multiyah Susanti mengakui, banyak mengeksplorasi gerak lengger dari Dariah. Bahkan, tembang "Sapanyana" yang diciptakan Dariah menjadi lagu wajib yang ditembangkan dalam pertunjukan lengger di Banyumas Raya, selain Ricik-Ricik, Sekar Gadung dan Eling-Eling".

"Mbok Dariyah menjadi inspirasi bagi semua penari lengger di Eks Karesidenan Banyumas, bahkan tembang ‘Sapanyana’ menjadi sangat populer di kalangan penari lengger," katanya.

Bahkan saat mengunjungi ke rumahnya, tembang Sapanyana menjadi hiburan wajib bagi para tamu Dariah untuk dinyanyikan sebagai bentuk apresiasinya.


“Sapanyana, Sapanyana
 krungu lagu banyumasan
 Wiwit kuna wis ana
 lagune ra.. lagune ra… sapiraha
 wiwit kuna wis ana
 saking joget ora kerasa
 Egat, egot egat egot
 Jebule kaya wong gila”

Tembang "Sapanyana" yang melegenda itu pun kerap mengiringi Dariah saat sesekali tampil di panggungnya dengan iringan calung banyumasan. Semangat lenggernya pun masih terasa kuat, saat melantunkan tembang Sapanyana yang mengingatkan kembali tentang tanah kelahiran dan kecintaan terhadap kesenian banyumasan.


http://c.uctalks.ucweb.com/detail/e65e00b951c845ae972ebd567a626f51?uc_param_str=dnvebichfrmintcpwidsudsvnwpflameefut&stat_entry=personal

 


0 komentar:

Posting Komentar